Senin, 15 Maret 2021

Harga dan Keberlanjutan: Produksi dan Perlindungan Jati di Boja

Pengunjung yang melintas di sekitar kawasan Boja, Kabupaten Semarang, dihadapkan pada pemandangan yang menyedihkan: tunggul-tunggul pohon jati yang menghampar, menjadi saksi bisu dari penjarahan hutan yang merajalela.

Hutan jati yang dulu subur dan melimpah kini telah mengalami kerusakan drastis akibat tindakan penebangan liar yang tak terkendali. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Boja, namun juga menjangkiti kawasan lain seperti Pacet di Mojokerto, yang juga menjadi saksi bisu dari perampokan hutan yang tak terbendung. Di kawasan tersebut, tidak kurang dari 3 bukit telah menjadi gundul akibat ulah para penjarah.

Wilayah Mojokerto di Jawa Timur merupakan salah satu dari 5 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perhutani yang mengalami kerusakan hutan jati yang parah. Kawasan lain yang terkena dampak serupa adalah Kediri, Malang, Tuban, dan Banyuwangi. Pada awal tahun , Perum Perhutani Jawa Timur mencatat kerugian sebesar 23.000 hektar, sedangkan di Jawa Tengah, jumlahnya mencapai 1.685.676 pohon (sekitar 240.000 m3 kayu bulat).

Tingginya nilai jual kayu jati menjadi salah satu alasan utama mengapa hutan jati menjadi target empuk bagi para penjarah. Jati kelas III produksi Perhutani saat ini dilelang dengan harga minimal Rp900.000 per m3, sementara harga pasar yang ditawarkan oleh para penjarah berkisar antara Rp300.000 hingga Rp500.000 per m3. Selain itu, permintaan jati yang terus meningkat, baik untuk keperluan mebel, konstruksi, maupun ekspor, juga turut mendorong penjarahan ini.

Dampak dari penjarahan hutan jati ilegal ini sangat merugikan produksi jati Perhutani. Meskipun Perhutani telah menurunkan usia penebangan, dari awalnya 80 tahun menjadi 60 tahun setelah Perang Dunia II, bahkan kini penebangan dilakukan hanya dalam waktu 30 tahun saja, penjarahan masih terjadi tanpa pandang bulu. Pohon-pohon yang berusia 15 hingga 20 tahun pun tak luput dari tebasan para penjarah. Hal ini mengakibatkan penurunan signifikan dalam produksi jati.

Unit I Perum Perhutani Jawa Tengah mencatat bahwa produksi jati pada tahun 2000 mencapai 170.812 m3, sedangkan pada tahun lalu, angkanya turun drastis menjadi 79.135 m3. Penurunan produksi ini memberikan dampak negatif pada perekonomian daerah dan menambah pengangguran. Kondisi semakin memburuk di tahun-tahun berikutnya.

Namun, tidak semua pihak terkena dampak negatif dari penjarahan ini. Beberapa perusahaan swasta, seperti Monfori Nusantara, telah melihat peluang dalam budidaya jati. Mereka menyadari potensi ekonomi yang besar dari kegiatan ini, mengingat permintaan jati yang tetap tinggi. Budidaya jati oleh perusahaan swasta seperti ini memberikan kontribusi positif bagi perekonomian daerah dan menciptakan lapangan kerja baru.

Tidak hanya perusahaan swasta, masyarakat juga semakin menyadari pentingnya pelestarian hutan jati. Beberapa individu dan kelompok masyarakat telah memulai upaya penanaman jati untuk tujuan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Dengan adanya penanaman jati yang intensif, diharapkan kerusakan hutan jati dapat ditekan dan produksi jati dapat pulih.

Tindakan penjarahan hutan jati ilegal yang merajalela mengancam keberlanjutan sumber daya alam kita. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait untuk mengatasi masalah ini. Penegakan hukum yang tegas terhadap penjarah, pengawasan yang ketat di kawasan hutan, serta program-program pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan jati menjadi langkah-langkah yang perlu diambil untuk menanggulangi penjarahan hutan jati ilegal.

Dengan adanya kesadaran dan upaya bersama dari berbagai pihak, diharapkan penjarahan hutan jati ilegal dapat ditekan dan produksi jati Perhutani dapat pulih. Hal ini tidak hanya akan berdampak positif pada perekonomian daerah, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam kita.

Document last updated at: Senin, 15 Mar 2021