Minggu, 16 Juni 2019

Kisah Sukses Pensiunan Lewat Budidaya Sayuran Organik

Tiga belas tahun lalu, hanya rumpun bambu dan alang-alang menjulang yang tumbuh di lahan 5 hektar itu. Namun, lihatlah sekarang. Selain menjadi tempat peristirahatan yang nyaman, berbagai produk pertanian dihasilkan: paprika, tomat, caisim, bawang daun, hingga susu kambing. Itulah buah kerja keras H EndhyAAziz Hardjowijoto yang memimpikan jadi petani pada masa pensiun.

Ketika masih bekerja, pria lulusan Pertambangan Institut Teknologi Bandung itu jangankan mengayun cangkul atau menabur pupuk, sekadar bertemu dengan sanak-saudara sangat sulit. Maklum, sebagai direktur Administrasi dan sumberdaya manusia kesehariannya disibukkan mengurus 4.000 karyawan PLN di seluruh Indonesia dan dewan komisaris PT Indonesia Power.

Kalaupun ada sedikit waktu luang, magister Pertambangan Kul Leuven, Belgia, itu memanfaatkan untuk memenuhi undangan mitra kerja. “Ya, paling bermain golf seminggu 2 kali. Itulah rutinitas yang dipertahankan untuk menjaga kebugaran tubuh,” katanya. Oleh karena itu kelahiran Wlingi, Blitar, 5 Maret 1935 itu sangat merindukan suasana pedesaan yang sepi, bisa menghirup udara segar, menyalurkan hobinya bertani dan beternak. “Ayah seorang petani dan sejak kecil saya sudah memelihara kambing,” lanjutnya. Jatuh-bangun

Budidaya Sayuran Organik
Aziz kelola 5 ha untuk berkebun sayuran

Kebetulan bertepatan dengan masa pensiun pada 1995 ada yang menawarkan lahan kepadanya. Lokasinya di Kampung Cibogo, Desa Tugujaya, Cigombong, Kabupaten Bogor, atau 1,5 jam bermobil dari Jakarta. Maka lahan berketinggian 800 m dpi di lereng Gunung Salak itu dibelinya. Di sana ia membangun vila. Atas saran beberapa petani setempat, sisa lahan yang masih luas ditanami singkong untuk diambil daunnya.

“Semua restoran padang butuh daun singkong,” kenangnya, menirukan ucapan petani. Memang ketika daun singkong dipanen semuanya habis diserap pasar. Aziz menerapkan pola tanam secara bertahap sehingga setiap hari dari kebunnya bisa dipanen 100 ikat daun singkong untuk memenui permintaan pasar. “Seikat besar terdiri dari 10 ikatan kecil dihargai Rp 1.250. Untungnya lumayan, melebihi gajih saya semasa masih di PLN,” kata suami Tuti Purwani itu.

Sayang, bandar yang menjadi pelanggan jatuh sakit, sehingga pada hari ke-23 hasil panen daun singkong teronggok di kebun. Ia lalu membawanya ke rumah di Jakarta dan dibagi-bagikan kepada tetangga. Gagal memasarkan daun singkong, pria yang terlihat masih gagah di usia 73 tahun itu menggantinya dengan menanam tomat sayur, kacang panjang, mentimun, dan buncis.

Tanaman tumbuh subur dan hasil produksinya tinggi. Namun, “Lagi-lagi kesulitan pasar, hingga malam-malam dibarengi hujan gerimis saya harus membawanya langsung ke Pasar Ramayana, Bogor,” tuturnya. Di sanalah ayah 3 putra itu harus menanggalkan atribut kebesarannya: sebagai mantan pejabat yang selalu didekati pengusaha.

Dari lapak ke lapak Aziz menawarkan sayuran. Tentu saja diiringi rasa pilu karena para pemilik lapak memberikan harga sekenanya dan cenderung bersikap galak. Tak ingin berlama-lama menahan derita, akhirnya sayuran yang dibawa dilepas walau hanya menerima setengah dari harga normal. “Jika dibawa pulang lagi juga menambah kerugian,” keluhnya. Tak ayal sepanjang perjalanan pulang Aziz mendapat omelan sang istri yang turut mengantar.

Budidaya Sayuran Organik
Paprika untung Rp15.000/tanaman

 

Proses Pembuatan greenhouse

Kapok datang langsung ke pasar, kakek 5 cucu itu mencoba membuka “pasar” di garasi rumahnya di Jakarta untuk menjual hasil panen berikutnya. Ternyata nasib baik belum berpihak. Dari pagi hingga siang tak satu pun pembeli datang. Ujung-ujungnya semua sayuran diberikan secara gratis kepada tetangga. “Bisa memproduksi percuma kalau tidak punya pasar,” Aziz menyimpulkan.

Dari hasil melihat, bertanya, dan mencoba, Aziz beralih ke komoditas jahe. Jahe gajah ditanam di lahan seluas 4.000 m2. Pertumbuhan jahe sampai umur 8 bulan bagus karena memang pehobi fotografi itu meluangkan waktu untuk belajar budidaya di Pusat Tanaman Rempah dan Aromatik Bogor. Saking bagusnya banyak pekebun yang mengacungi keberhasilan pencinta satwa-satwa klangenan itu. Namun, di tengah kegembiraan, Aziz harus memendam rasa kesal karena setiap hari 1—2 rumpun jahe raib dicuri.

Menghadapi kenyataan itu Aziz mengambil jalan pintas: memanen jahe meski umurnya belum genap 12 bulan alias panen muda. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, jahe yang sudah dipanen itu dihargai sangat rendah, tidak sampai setengahnya dari harga pasar. “Seharusnya sebelum dipanen ada kesepakatan harga dulu supaya tidak ditekan pembeli,” kata Azis. Celakanya, setelah ditawarkan ke eksportir pun harga tidak beranjak naik. Dengan terpaksa jahe yang seharusnya dihargai Rp2.500/kg, dilepas hanya Rp800/kg.

Gagal berkali-kali akhirnya ia memutuskan untuk menanam tomat sayur dan paprika secara hidroponik di dalam greenhouse. Pasar kedua komoditas itu dijamin karena sudah teken kontrak dengan salah satu pemasok. “Tidak langsung besar, tapi skala kecil dulu supaya kalau gagal tidak rugi besar. Paprika saya coba dulu 400 tanaman sebelum mencapai 2.000 tanaman sekarang ini,” kata Aziz. Menurut Aziz keuntungan paprika cukup tinggi. Dari setiap tanaman bisa dipanen 2,5 kg dalam 6 bulan. Kalau harga paprika rata-rata Rp10.000/kg, maka keuntungan mencapai Rp15.000/tanaman, karena biaya produksinya cuma Rp l0.000/tanaman.

Budidaya Sayuran Organik
Dibudidayakan secara organik

Pemasaran Sampai ke Mancanegara

Dalam perkembangan selanjutnya lahan seluas 5 hektar juga ditanami pakcoi, caisim, selada, bawang daun, horenso, kailan, buncis, kacang panjang, dan padi. Aziz tidak hanya memanfaatkan 8 grennhouse—beragam ukuran dari 300 m2 sampai 1.000 m2, tapi juga seluruh areal. Di lahan terbuka ia mengembangkan penanaman sayuran organik, sistem vertikultur, dan aeroponik. “Setiap minggu dijual 50 kg dari 5 jenis sayuran yang dipanen secara bergantian,” tuturnya.

Tak cukup sayuran, kebun yang diberi nama Agro Trisari itu dilengkapi berbagai tabulampot seperti mangga, rambutan, belimbing, jambu biji, jambu air, sawo, dan jeruk. Tabulampot mangga nam dok mai yang Mitra Usaha Tani saksikan berbuah sangat lebat. “Menanam mangga di ketinggian 800 m dpi tidak masalah. Yang penting medianya,” ujar Aziz. Media yang digunakan pasir, tanah, dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1:1. Sementara untuk rambutan perbandingannya 1:2:1.

Di antara tanaman-tanaman itu juga masih ada tanaman hias, tanaman obat rosela, hingga ikan dan kambing ettawa. Agro Trisari memang menerapkan sistem pertanian terpadu untuk efisiensi sekaligus mengefektifkan lahan. Terbukti kebutuhan pupuk kandang terpenuhi dari 100 induk kambing ettawa. Dari 100 kambing itu juga minimal 10 liter susu rutin diperah setiap hari.

Budidaya Sayuran Organik
Akses pasar paling penting

Semula kebun Agro Trisari hanya sebagai tempat istirahat dan mengisi waktu luang masa pensiun pemiliknya. Namun, karena dikelola cukup baik, tidak saja bisa menutup biaya operasional, tapi juga mendatangkan laba. Wajar jika kebun itu kerap didatangi mereka yang ingin belajar pertanian baik dari dalam dan luar negeri. Tak terkecuali sesama para pensiunan yang ingin tetap beraktivitas dan hidup sehat dengan hijaunya sayuran seperti di lereng Gunung Salak.

Document last updated at: Minggu, 16 Jun 2019