Minggu, 09 Juni 2019

Raup Untung Jutaan Rupiah Lewat Budidaya Anggrek Dilahan Sempit

Pagi itu Sugeng Praptono sibuk memasukkan botol-botol bening berlapis koran ke dalam dus-dus karton. Botol disusun ke atas berselang-seling saling berhadapan. Satu dus berisi 20 botol agar bobot tidak terlalu berat. Hari itu Sugeng mengemas 400 botol untuk 4 pelanggan di Bali.

Masih di hari yang sama, ayah 2 anak itu menyiapkan 30 kompot untuk masing-masing pelanggan tadi. Kompot berisi 20 sampai 25 bibit berumur 2 bulan dibongkar. Cacahan pakis di akar dibersihkan. Lalu isi masing-masing kompot dibungkus lapisan koran, baru disusun ke dalam dus.

Jenis yang dijual didominasi phalaenopsis dan dendrobium. Botolan dendrobium dijual Rp12.500 sampai Rp15.000. Anggrek bulan lebih mahal, antara Rp 15.000 sampai Rp 17.500 per botol. Harga kompot relatif sama, Rp25.000 per pot. Itu berarti omzet minimal Rp6,25-juta Sugeng kantongi hari itu.

Budidaya Anggrek

 

Lempengan pakis Sebagai Media Tanam


Kantong kelahiran 28 Juni 1966 itu dipastikan terus menggelembung. Pelanggan di Bali hanya sebagian dari pembeli yang biasa ia layani. Setiap 2 minggu ia menyiapkan 20 sampai 30 kompot untuk memasok pedagang kakilima di pinggir-pinggir jalan di kawasan wisata Selekta, Batu.

Belum lagi penjualan seedling dan tanaman berbunga. Bibit berdaun 4 lembar dalam pot-pot gelas plastik bekas air kemasan dijual Rp2.500 sampai Rp3.000 per pot. Ada juga yang disusun tiga-tiga dalam lempengan pakis. Selain cantik dari segi estetika, harga jual lebih tinggi. Seedlingseedling itu dilabeli Rp15.000 per lempeng. Setiap bulan rata-rata Sugeng menjual 500 sampai 1.000 seedling.

Tambahan rupiah juga ia dapat dari penjualan 150 sampai 200 pot anggrek berbunga setiap 2 minggu. Anggrek-anggrek dari pekebun di seputaran Batu, Malang, dan Jombang dijual Rp30.000 sampai Rp 125.000. Dengan harga minimal, lagi-lagi jutaan rupiah mengalir ke kantong guru olahraga di sebuah sekolah dasar. Semua itu Sugeng nikmati dari 2 greenhouse sederhana di halaman depan dan belakang rumah masing-masing seluas 250 m2.









Pemasaran Anggrek Sering kali Tersandung masalah Pameran

 

Budidaya Anggrek Skala kecil


Kesibukan juga terlihat di kediaman Linda Dasawati di Kudus. Sejak setahun silam halaman rumah seluas 500 m2 ia sulap menjadi kebun pembesaran bibit anggrek. Beberapa para-para ia jejerkan di bawah naungan shading net. Itu tempat meletakkan kompot-kompot berisi bibit asal botol. Setelah dirawat 3 sampai 4 bulan tanaman dijual sebagai bibit remaja.

Nun di Madiun, Nur Ridayanti, memanfaatkan lahan seluas 300 m2 dihalaman rumah. Di sela-sela rutinitas sebagai ibu rumah tangga ia masih sempat membesarkan bibit-bibit dari kompot menjadi seedling.

Sugeng, Linda, dan Nur Ridayanti, hanyalah beberapa contoh sukses pengusahaan anggrek di lahan sempit. Hasil lacakan budidayatani, setidaknya 3 penganggrek di Malang meraih sukses serupa. D i Rawabelong, Jakarta Selatan, banyak p e k e b u n mengusahakan ompot menjadi tanaman remaja di luasan 100 sampai 200 m2.

Keuntungan Yang Relatif Besar


Hasilnya cukup lumayan. Dari lahan seluas 300 m2 Nur Ridayanti memperoleh tambahan penghasilan sebesar Rp606.250 per bulan. Hitung-hitungannya, ia mengambil 100 kompot masing-masing Rp25.000 atau senilai total Rp2.500.000. Setelah dikeluarkan dari pot massal, ia memperoleh 2.500 seedling.

Seedling itu dipelihara sekitar 4 bulan. Saat itu tanaman laku Rp3.000 per pot. Katakanlah tingkat kematian mencapai 1% setara 25 pot. Nur Ridayanti mendapatkan pemasukan Rp7.425.000 per 4 bulan. Biaya perawatan relatif kecil, Rp2.000 per pot selama perawatan. Dengan begitu ia masih mengantongi keuntungan Rp2.425.000 selama 4 bulan atau Rp606.250 per bulan.

Itu juga yang dialami Linda Dasawati. Untuk mengisi para-para di kebun seluas 500 m2 ia membeli 100 botol bibit dendrobium dari penganggrek di Jakarta. Nilai total pembelian mencapai Rp2-juta. Bibit dipisahkan ke dalam 200 kompot. Setelah dipelihara selama 4 bulan harga jual Rp25.000 per kompot berisi sekitar 20 sampai 25 tanaman. Dari penjualan kompot, ibu rumahtangga itu memperoleh Rp5-juta per 4 bulan.

Setelah dikurangi total biaya perawatan Rp400.000 untuk periode sama, laba dituai masih memadai: Rp4.550.000 per 4 bulan atau Rp 1.137.500 per bulan. “Padahal belum semua lahan saya manfaatkan,” tutur Linda.

Biaya Produksi Yang rendah


Hitung-hitungan itulah yang membuat Sugeng yakin untuk hijrah dari bisnis bunga potong. Sebelum 1984 laki-laki ramah itu memang menekuni penanaman mawar, krisan, dan gladiol. Ia berbalik arah karena anggrek lebih menjanjikan. “Kalau dulu (saat mengusahakan bunga potong, red) 1 minggu dapat Rp90.000 sampai Rp 100.000 saja susah. Itu masih belum menghitung biaya pekerja dan pupuk. Sekarang Rp90.000 sampai Rp 100.000 cuma dari 2 seedling,” tutur Sugeng.

Pilihan itu tak salah. Kalau semula ia sekadar membesarkan bibit dari penganggrek lain, sejak 2 tahun silam wong Batu itu memproduksi botolan. Dengan mengelola hampir semua segmen, keuntungan diraih jelas berlipat-lipat. Padahal belum semua permintaan ia layani. Pasokan 100 botol bibit phalaenopsis ke Jakarta tidak setiap bulan terkirim lancar. Produksi anggrek bulan terbatas sehingga Sugeng mesti membagi-bagi jumlah yang sama kepada beberapa pelanggan.

Peluang kian membentang lantaran anggrek, terutama dendrobium tanaman bandel yang mudah dirawat. Uang yang digelontorkan untuk modal awal dan biaya operasional pun tidak terlalu besar. Untuk membuat greenhouse sederhana berangka bambu, beratap plastik, dan berdinding shading net seluas 200 m2 Sugeng mengeluarkan Rp15-juta. Greenhouse dapat dipergunakan selama 5 tahun. Biaya perawatan per pot sekitar Rp500 sampai Rp800 per bulan.









bisnis anggrek
Mendulang untung dari lahan sempit

Gara-gara EJOS

Keuntungan yang diraih para pekebun itu tak lepas dari kian maraknya bisnis anggrek secara keseluruhan. Tengok saja kesibukan Erry Hanindita, pemilik Philly Orchids di Taman Anggrek Ragunan (TAR). Saat budidayatani berkunjung akhir Maret, ia tengah membungkus bunga-bunga anggrek dengan tisu. Ia mendapat pesanan 350 dendrobium, 75 mokara, dan 50 vanda dari pelanggan di Medan.

Minggu itu juga ia mesti melayani permintaan 600 pot beragam anggrek dari Manado, 2.000 pot dari Bali, dan Makassar, 300 pot. Yang tak kalah repot, Saliwon, di kavling 39 TAR dan Sutaryani Sudjoko di kavling 40.

Para penganggrek sepakat, bisnis anggota keluarga Orchidaceae itu semakin ramai usai digelarnya acara East Java Orchids Shows (EJOS) di Kebun Raya Purwodadi, Malang, pada 2001. “Permintaan terus melonjak,” kata Sugeng. Imbas itu pula yang antara lain dialami Yani sampai sapaan akrab Sutaryani.

Sampai 2001 hanya puluhan pot yang ia jual setiap bulan. Jumlah itu kini melonjak hingga 1.500 pot per bulan. Meski harga jual Rp50.000 sampai Rp75.000,anggrek laris-manis dibeli pelanggan dari berbagai daerah. Saking derasnya permintaan ia sampai harus hunting ke pekebun lain.
Pasokan Yang Tinggi

Demi memenuhi permintaan pula akhirnya Yani membuka kebun pendukung seluas 250 m2 di Cinere dan 3.000 m2 di Jagakarsa, keduanya di Jakarta Selatan. Endah Malahayati memilih untuk membentuk kemitraan dengan pekebun skala kecil yang mengelola segmen tertentu.Linda Dasawati memelihara dari botolan hingga kompot. Atau merawat tanaman remaja hingga berbunga, seperti yang dilakukan Desi Danus, di Bogor. Dari merekalah Endah mendapat pasokan untuk dikirim ke Solo, Yogyakarta, Semarang, Malang, Bengkulu, Lampung, Palembang, Riau, Bangka, dan Medan. Setiap bulan setidaknya 4.000 pot hijrah dari Ragunan ke berbagai daerah.

Kian tingginya frekuensi pameran di berbagai daerah diprediksi akan membawa umur bisnis anggrek kian panjang. Dari perhelatan itulah para pekebun kerap meraup untung dalam waktu singkat. “Untuk kios sekelas saya paling tidak Rp4-juta sampai Rp5-juta di tangan selama 5 sampai 6 hari pameran,” kata Sugeng. Bagi Sugeng di lahan kecil anggrek memang menjanjikan.

Document last updated at: Minggu, 9 Jun 2019