Minggu, 09 Juni 2019

Serangan Virus Pada Pembiakan Ayam Serama

Senyum tak lepas di bibir Januar Budi Dharma ketika melihat kutuk serama berumur 2 bulan berjalan ke sana ke mari mengekor sang induk. Baginya ayam asal Kelantan, Malaysia, itu menjadi hiburan setiap akhir pekan. Sayang, ayam mungil itu tidak lagi didatangkan dari negara asalnya sejak avian influenza (Al) mendera Indonesia pada September 2003.

Sebelumnya, setiap berkunjung ke Kelantan, Januar dengan mudah menenteng 2 sampai 3 serama. Dua jawara kontes dari Negeri Gajah Putih juga dibeli seharga Rp 15-juta/ekor untuk menambah koleksi. Ajong, importir di Jakarta, juga rutin setiap bulan mendatangkan 4 sampai 5 ekor berumur 6 sampai 8 bulan dari Malaysia. Namun, kegiatan itu mandek gara-gara larangan impor unggas dari pemerintah sehubungan dengan mewabahnya Al (avian influenza) di beberapa negara.

Padahal, ayam itu tengah naik daun. Apalagi sejak kontes kecantikan ayam kate itu beberapa kali digelar di Jakarta. Rudiasfie Sjofinal, peternak di Pondokbambu, Jakarta Timur, kewalahan memenuhi permintaan dari berbagai kota. Namun, order itu terpaksa ia tolak karena stok terbatas. Induk pun hanya itu-itu saja. Kalau dikawinsilangkan kualitas akan menurun. “Harus ada suntikan induk baru. Sayang, untuk mendatangkan induk dari negara asal sulit,” ujarnya.


 

Serangan Virus Unggas


Saat ini serangan flu burung memang tidak segencar periode November 2003 hingga Februari 2004. Namun, Balai Besar Karantina Hewan (BBKH) belum membuka kran impor unggas kembali. Hal itu mengacu pada peraturan Office International des Epizooties (OIE) badan kesehatan hewan dunia. Badan itu berhak mengevakuasi penyakit hewan di seluruh dunia, termasuk AL

Amerika Serikat, Kanada, dan Belgia termasuk negara berstatus outbreak mewabah. Menurut Yulianto, kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan BBKH Soekarno Hatta, status itu juga disandang Korea Selatan, Jepang, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Hongkong, Cina, Pakistan, dan Banglades. “Artinya semua produk unggas, seperti telur, daging, induk, atau bibit dari negara-negara itu dilarang masuk,” ujarnya.

“Malaysia dan Filipina berstatus pandemik. Saat ini tidak terjadi serangan, tapi suatu saat bisa tiba-tiba memuncak,” jelas alumnus fakultas kedokteran hewan Universitas Gadjah Mada itu. Oleh karena itu, menurut Yulianto meski tidak bebas, masih ada peluang mengimpor serama dari Malaysia. Syaratnya, importir harus memenuhi prosedur yang ditetapkan BBKH.

Ayam Serama Bersertifikat


Importir harus mengantongi surat persetujuan impor dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan sebelum mengimpor serama. Sertifikat kesehatan dari negara produsen juga disertakan sebelum serama tiba. “Dokumen itu harus asli, bukan hasil foto kopi ataupun dikirim melalui faks,” ujarnya.

Meski semua kelengkapan dokumen sudah dipenuhi, importir tidak begitu saja membawa pulang serama kesayangan. Begitu tiba, ayam harus menjalani masa karantina di instalasi kesehatan hewan sementara milik BBKH selama 3 minggu. Selain pemeriksaan fisik, pengecekan kesehatan juga dilakukan di laboratorium BBKH Soekarno Hatta atau Balai Veteriner di Bogor.

Hal itu penting untuk menguji beberapa penyakit karantina golongan I atau II, termasuk Al. Ayam yang terinfeksi Al ditandai ujung pial hitam karena nekrosis kematian sel bintik merah di kaki, seperti pendarahan. “Ayam yang terserang Al segera dimusnahkan,” ujar Yulianto.

Pun yang terbukti mengidap penyakit golongan I, seperti sampar pasti dimusnahkan. Namun, bila hanya terserang penyakit golongan II, seperti infection laryngotracheitis dan newcastle disease ayam diberi vaksin atau diobati sampai sembuh. Setelah itu BBKH mengeluarkan surat pelepasan karantina. Ayam Serama pun segera dibawa pulang untuk meramaikan pekarangan.

Document last updated at: Minggu, 9 Jun 2019