Sabtu, 06 Juli 2019

Untung Besar Dengan Memproduksi Baglog Jamur Tiram

Sepasang tangan secara hati-hati dan terampil menuangkan bibit jamur tiram asal Kanada dengan sendok ke dalam antrean ratusan bag log. Aktivitas sepasang tangan itu berlangsung setiap hari sejak pukul 10.00 selama 4 jam di laboratorium kecil berdinding semen. Dari bilik kamar berukuran 3 m x4 m itu Mamat Rahmat setiap bulan mencetak 60.000 bag log jamur tiram inokulasi. Dari situ omzet senilai Rp 78-juta per bulan diraup.

Deru 2 mobil colt bak terbuka memecah keheningan pagi saat rutinitas mengantar pesanan I baglog mulai berlangsung. Beberapa pekerja berjaket sambil menahan dingin sibuk memasukkan baglog ke atas bak mobil sebelum ditutup terpal. Setelah melapor mobil pun siap meluncur pergi. Di sela-sela kesibukan itu telepon seluler sang empunya kerap menyapa pelanggan. Setidaknya ia perlu memberitahu jika order itu sudah dikirim sesuai janji. “Ini baru saja berangkat Pak. Iya 2.000 baglog….Tolong hubungi saya kalau sudah sampai ya…,” ujar Mamat saat mengontak pelanggan asal Garut.

Baglog Jamur Tiram

Baglog jamur tiram made in Mamat menjadi incaran banyak pekebun di seputar Lembang hingga Garut. Maklum dalam 1,5 bulan jamur tiram itu sudah berproduksi. Itulah kunci sukses bisnis baglog yang digeluti Mamat. Kapasitas produksi 60.000 itu sebenarnya baru seperempat permintaan yang masuk.

Karena keterbatasan tempat dan alat saja seluruh permintaan itu belum terlayani. “Bulan ini saja ada pesanan 60.000 baglog yang minta segera dikirim. Padahal saya juga memiliki pelanggan lain yang harus dipasok,” ujarnya. Untuk menyiasati agar konsumen tidak kecewa, ia menerapkan sistem inden terjadwal. Khusus untuk permintaan besar, umumnya dipasok bertahap hingga 3-4 kali. Semua diatur sedemikian rupa agar tidak ada pelanggan kecewa.

Baglog Dan Limbah Kandang ayam

Kesuksesan Mamat merintis usaha jamur tidak terbayang sebelumnya. Lima belas tahun lalu saat ia memutuskan menikah muda, bantuan dana yang kerap diberikan sang ayah-pekebun sayuran di Lembang- terhenti. “Kalau menikah artinya sudah membiayai hudup sendiri,” ujar Mamat. Semula ia menjadi supir ekspatriat Korea. Lantaran bergaji kecil dan tak kuat dengan jadwal tak tentu ia pun berhenti setelah bekerja selama setahun.

Tiga bulan sebelum pensiun sebagai supir, Mamat sudah berpikir keras untuk memulai usaha baru. Sayang hingga berhenti ide itu belum menampakkan batang hidungnya. Beruntung sang ayah kemudian menyarankan alumnus

Universitas Bandung Raya itu menanam jamur tiram. “Setelah berembuk sama istri, akhirnya dicoba,” papar Mamat. Dengan modal awal Rp2,5-juta, sisa gaji dan penjualan beberapa perhiasan sang istri, usaha jamur tiram pun dimulai. Dengan keterbatasan modal, Mamat terpaksa meminjam sebuah kandang ayam milik sang ayah untuk dijadikan kumbung. Kandang ayam berukuran 4 m x 10 m itu sungguh tak layak. Dinding kayu rapuh dan beratap langit. Modal Rp 1-juta pun digelontorkan untuk memperbaiki dinding dan membangun rak.

Sisanya dipakai untuk membeli bahan dan perlengkapan membuat baglog jamur tiram. “Saya sendiri berguru dulu selama 4 bulan pada seorang pekebun jamur untuk mengetahui cara meracik hingga sterilisasi,” kata Mamat. Dengan bahan yang tersedia, Mamat mampu memproduksi 3.000 baglog. Sejak dari penyiraman hingga memasuki masa 3 panen jamur tiram itu dikerjakan berdua bersama sang istri. “Kalau hujan terpaksa I lari-lari menutup baglog lantaran kandang ayamnya masih belum beratap,” ujar Mamat. Setengah tahun kemudian panen perdana pun dituai. Hasilnya 1 ton jamur tiram segar yang dijual seharga Rp3.500 per kg. “Waktu itu senang bisa dapat Rp3,5-juta. Padahal, baglog yang gagal berproduksi karena kontaminasi banyak, mencapai 20%,” ujarnya.

Keuntungan itu terus diputar untuk memproduksi 3.000 baglog lagi selain memberi atap pada kandang ayam. Rupiah yang tersisa ditabung untuk rencana yang lebih besar. Tak terasa 5 tahun menabung dari 1992-1997, Mamat berani membangun kumbung berkapasitas 10.000 baglog. Keuntungannya pun terus meningkat. Sejak 1998 hingga 2000 sudah dibangun 7 kumbung masing-masing berkapasitas 40.000. Saat itu laba bersih pun melambung hingga mencapai Rp216-juta per tahun.

Efisiensi minyak tanah

Belakangan nama Mamat Rahmat kondang di seputar Lembang sebagai produsen jamur tiram. Banyak pekebun pemula minta dibuatkan baglog. Karena pesanan masih sedikit ia pun menyanggupi. Tak terasa setelah berjalan 4 bulan permintaan baglog terus meningkat. Dari semula 700 per bulan pada 1999 meningkat 400% pada 2000. “Terpikir untuk terus membuat baglog, apalagi setelah ada yang berani pesan hingga 30.000,” ujar kelahiran Bandung 1966 itu.

Dana investasi sebesar Rp60-juta pun dikucurkan untuk menambah alat sterilisasi dan membangun tempat growing. Semua itu untuk memacu kapasitas produksi hingga 1.000 baglog per hari. Yang dibuat baglog putih, siap produksi 6 bulan kemudian. Semua memang bukan tanpa perhitungan. “Perputaran uangnya lebih cepat dan biaya produksi rendah,” ujar Mamat. Sejak 2001 Mamat mengibarkan bendera sebagai produsen baglog.

Mesin Baglog

Setiap bulan sekitar 40.000 baglog laku keras terjual. Kumbung produksi pun pelan-pelan dikosongkan sebagai tempat penyimpanan baglog. “Sampai sekarang semua kumbung selalu kosong karena baglognya habis terjual,” paparnya. Keinginan pelanggan melihat cepat jamur tiramnya tumbuh memberi pembaruan lain. “Sejak 2002 hingga sekarang kami hanya mencetak baglog yang sudah diinokulasi,” ujar ayah Almaulidio Muhammad Naufaldi itu. Kelebihan baglog itu dapat berproduksi setelah berumur 1,5 bulan dengan hasil panen per baglog rata-rata 0,35 kg.

Usaha itu merupakan hasil eksperimen selama 2 tahun. “Semula banyak gagalnya seperti miselium tumbuh, tapi jamurnya tidak keluar,” ujarnya. Beruntung di sela-sela “sekolah” itu Mamat menemukan teknik baru untuk mengirit pemakaian bahan bakar. Jika pekebun umumnya memakai 400-500 liter minyak tanah untuk membuat 3.000 baglog, suami Suryani itu hanya memakai 80 liter saja.

“Teknologi ini terkait erat dengan kadar kegagalan produksi. Pemakaian bahan bakar sedikit mengurangi kontaminasi,” papar Mamat. Dengan biaya produksi sebesar Rp300-Rp500 per baglog, Mamat berani menjual Rp 1.000 per baglog, lebih rendah dari harga pasaran yang berkisar Rp 1.200-Rp 1.500 per baglog.

Tak hanya memproduksi baglog, kini Mamat pun menjalin mitra dengan beberapa invenstor asal Jakarta yang kebetulan memiliki lahan di sekitar Lembang. “Mereka menyediakan kumbung, saya mengisinya. Hasil panen dibagi dua dengan persentase berbeda,” ujarnya. Begitu pula dengan kumbung kosong miliknya. Kumbung itu kini disewakan sebagai kumbung produksi. “Mereka akan perlu baglog baru setelah beberapa waktu berproduksi. Jadi kami pasok lagi. Hingga kini kami memiliki bank data pelanggan yang perlu dipasok pada periode mendatang,” papar Mamat. Wajar bila kapasitas produksi 60.000 pun memang tidak mencukupi.

 

Document last updated at: Sabtu, 6 Jul 2019