Jumat, 21 Juni 2019

Usaha Pembiakan Merpati Balap Modal Kecil

Maraknya lomba merpati balap pinggiran membawa berkah bagi Jonny, hobiis di Bekasi. Hanya dengan 6 pasang induk, ia mampu melepas 5 — 10 piyik sebulan. Dengan harga Rp 500.000 – Rp 1 juta/ekor, omzet peternakannya di bilangan Harapan Jaya Bekasi itu mencapai Rp 5-juta/bulan.

Yang dimaksud merpati pinggiran adalah merpati kelas menengah ke bawah. Sejak 2 tahun lomba-lomba semacam itu kian sering digelar. Dampaknya permintaan burung pun meningkat. Oleh karena itu banyak penangkar yang menuai laba.

Contohnya Jonny Ia tak mengeluarkan banyak biaya saat memulai bisnis penangkaran merpati balap pada 2 tahun lalu. “Modal waktu itu tak lebih dari Rp 10-juta,” paparnya. Sebab, harga induk paling mahal Rp l-juta/ekor. Malahan diakuinya, ada yang dibeli berupa telur untuk menekan harga. Yang penting telur dari burung bagus agar anakan berkualitas baik.

Sebelum dilempar ke pasar, Jonny melatih burung-burung ternakannya selama 2 – 3 bulan. Maksudnya, agar dapat dijual mahal. “Meskipun hanya di kelas ringan, burung harus rajin turun gelanggang untuk mengukur kemampuannya,” tuturnya.

merpati balap

 

Permintaan Pasar Akan Merpati Balap Cukup Tinggi

Hal serupa dialami Iwan Makita hobiis di Jakarta. “Tak sedikit pemain pinggiran datang ke sini untuk mencari burung,” papar Iwan. Bagi pemain kelas atas, burung trah juara menjadi incaran. Namun, bagi pendatang baru di pinggiran, yang dicari burung-burung kelas dua berharga Rp 500.000 – Rp 1 -juta/ekor. Toh, “Burung bagus tak harus mahal,” tuturnya.

Meski burung hasil ternakannya lebih banyak dipakai sendiri, Iwan tak menolak jika ada permintaan. “Masih berupa telur pun sudah banyak dipesan,” paparnya. Burung tangkaran Iwan terkenal memiliki trah burung juara. Tak heran jika burung-burung Makita banyak berbicara di arena lomba. Jetset dan Kuda Jingkrak, hanyalah salah satu legenda. Begitu pula Ekor Putih, peringkat 6 nasional 2003, banyak dilirik hobiis.

Fenomena banyaknya hobiis yang mencari burung itulah yang mendorong Erick Yonathan, hobiis di Jakarta Barat, membuka penangkaran pada 1999. “Peluang bisnisnya sangat baik,” kata mantan pemain merpati tinggian itu.

Bermodalkan indukan berdarah juara seperti Dinamit dan Kayana, ia pun memulai penangkaran dengan 40 kandang. Hasilnya, beberapa andalannya menunjukkan prestasi baik. Sebut saja Anak Dinamit, Anak Kayana, Bon Jovi, dan Ekstrim.

Semula pengusaha industri aki di kawasan Cikupa, Tangerang, itu tidak berminat menjual hasil ternakannya. Namun, karena kualitas burungnya dinilai bagus, banyak hobiis memaksa ingin membeli anakannya. Kini dari farm di kawasan Bumi Serpong Damai, belasan merpati balap berkualitas bagus terjual setiap bulan. Padahal, seekor piyik saja berharga Rp2-juta—Rp3-juta. Apalagi anakan siap lomba, harganya bisa melejit hingga Rp 15-juta/ekor.

Lomba Merpati Balap marak digelar di berbagai tempat

 

Permintaan Sampai Ke Daerah Pelosok

Iwan Santoso, hobiis di Jakarta, melihat hobi merpati balap kini bukan lagi monopoli pemain besar. “Merpati balap telah merambah sampai ke pelosok,” paparnya. Malah, ketimbang kelas atas pemain kelas bawah jumlahnya semakin banyak.

Tak heran jika kelompok-kelompok pemain kelas menengah ke bawah kini terbentuk di berbagai sudut kota. Kelompok Marunda, Kebayoran, Cakung, Bedeng, Cibubur—semua di Jakarta, Harapan Indah (Bekasi), dan Gading Serpong (Tangerang) hanya beberapa di antaranya.

Maraknya pemain-pemain tingkat lokal tak hanya di kawasan Jabotabek. Menurut Ching Sen, hobiis kawakan di Bandung, sejak 2003 di Jawa Timur telah berkembang 28 pengurus lokal (penglok) dari semula hanya 4—5 penglok.

Menurut Ching Sen, meningkatnya pemain merpati balap tak lepas dari adanya peralihan besar-besaran merpati tinggian ke merpati balap. “Sekitar 85% pemain merpati tinggian di Purworejo, Kebumen, dan Magelang beralih ke merpati balap,” papar pemilik Leonard itu.

Bermain merpati balap “pinggiran” tak perlu modal besar. “Kalau tak sanggup beli jutaan rupiah, burung berharga Rp500.000 pun dapat dipakai,” ujar Iwan Santoso. Malah, kalau bisa menjalin hubungan baik dengan pemain besar, burung-burung “apkir” mereka diberikan gratis kepada pemain pinggiran. “Hitung-hitung sebagai subsidi untuk meramaikan kontes merpati balap,” lanjutnya.

Tak Perlu Lahan Luas Untuk Penangkaran

Biaya Perawatan terjangkau

Menurut Ipay, sapaan akrab Iwan Santoso, hobi merpati balap diminati karena lomba berlangsung “bersih”, tak bisa dimanipulasi. Artinya, selain juri, peserta bisa ikut menilai burung yang layak juara. Apalagi di setiap lomba dilengkapi kamera untuk merekam pergerakan merpati.

Menjamurnya pengurus-pengurus lokal merpati balap itu pun membuat frekuensi lomba kian sering. Hampir setiap minggu para mania pinggiran menggelar “jagungan” (semacam latihan bersama, red) dengan pendaftaran Rp20.000—Rp30.000 per ekor. “Selain untuk membiasakan burung tampil di arena, lomba-lomba kecil itu juga dijadikan ajang untuk menilai kemampuan burung,” papar Handoyo, hobiis di Jakarta.

Minat peserta di daerah untuk mengikuti lomba sangat besar karena biaya pendaftaran terjangkau. Wajar peserta membeludak sampai 1.000 ekor, meski hadiahnya hanya berupa kambing, sepeda, dan VCD. Sebab, selain hadiah, “Merpati yang menang bisa naik pamor,” tuturnya. Di Jawa Tengah, seperti Magelang dan Purworejo, harga juara desa pernah mencapai Rp30-juta.

Memang kualitas burung tergantung dari latihan dan perawatan. “Kalau dirawat baik, burung berharga Rp500.000 pun bisa juara,” kata Handoyo. Lihat saja buktinya, banyak burung murah menyodok sampai ke tingkat atas. Putra Madura, peraih peringkat ke-5 nasional tahun 2003 sekadar contoh. Ia dibeli seharga Rp 1-juta dari tangan hobiis Madura saat bakalan.

Di tangan pemilik baru, hobiis asal Lumajang, ia dipoles dan dilatih. Hasilnya, burung murah itu mampu menunjukkan prestasi, bahkan melejit ke tingkat nasional. Karena prestasi itulah, burung yang kini dipegang hobiis Pemalang itu dihargai Rp125-juta.

Document last updated at: Jumat, 21 Jun 2019