Kisah Sukses Mengembangkan Varietas Jeruk Unggulan Dijambi

Kisah Sukses Mengembangkan Varietas Jeruk Unggulan Dijambi

Nun di pedalaman jambi, terbentang hamparan jeruk seluas 100 ha. Pohon setinggi 2 sampai 4 m berbaris rapi dengan jarak 4mx 5 m. Citrus nobilis itu disarati buah hijau kuning. Dua puluh tahun silam hanya semak belukar yang ada di sana. Berkat tangan dingin Abu Hairah hamparan perdu liar berubah menjadi lautan jeruk yang hijau.

Siang itu panas matahari menyengat bumi. Abu demikian Abu Hairah biasa disapa duduk di jok depan sebuah Suzuki Vitara hijau metalik. Tangannya lincah mengendalikan setir ketika kendaraan melewati jalan bertanah merah. Sesekali mobil terguncang ke kanan dan kiri begitu roda mendarat di lubang besar. Kubangan air yang diteijang memuncratkan percikan kecokelatan ke kaca depan.

Perjalanan Mitra Usaha Tani menyertai Abu dari pusat kota Jambi menuju kebun di Kumpeh, Muarosebo, Muarojambi, selama 1 jam itu nyaris membosankan. Maklum, pemandangan yang dilihat sepanjang perjalanan hanyalah semak belukar. Namun, semangat bangkit kembali begitu tiba di lokasi. Di sana terbentang deretan pohon setinggi 4 m disesaki buah sebesar bola tenis hijau kekuningan.

 
sang pelopor Budidaya Jeruk Dijambi

Agenda rutin

Minimal 2 kali seminggu Abu datang ke kebun. Hari-hari lain, mantan Direktur Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian itu berada di kantor yang bertempat di J1 Soemantri Brojonegoro, Jambi. Di sanalah ia memantau perkembangan BHA dari beberapa staf lapangan yang diteijunkan ke lokasi setiap hari.

Maklum yang dikelola tak hanya jeruk. BHA juga sukses mengembangkan beragam jenis rambutan, duku, mangga, dan durian. “Mangga lalijiwo atau durian matahari asal Bogor ada. Masyarakat di Jambi tak perlu pergi ke Jakarta bila ingin mencicipi buahnya,” kata alumnus Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor itu.

Perusahaan patungan bersama beberapa rekan yang dirintis sejak 1993 itu pun tidak kesulitan memasarkan hasil. Pedagang keliling di sekitar Jambi menjemput langsung ke kebun. Mereka memetik buah, menyortir, lalu menimbang sebelum buah pindah ke keranjang sepeda motor masing-masing pedagang. Harga disesuaikan kualitas buah.

Ketika musim raya April Juni, jumlah pedagang mencapai 40 orang. Bila setiap orang membawa 50 kg, berarti sekitar 2 ton dituai. Sisa panen yang tidak diambil pedagang tak sempat dikirim ke luar daerah. “Hasil panen habis untuk kebutuhan konsumen lokal,” kata pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 26 Januari 1935 itu.

Perintis

Sukses Abu mengibarkan bendera BHA tak diraih sekejap mata. Boleh dibilang ia pionir penanaman jeruk skala besar di Jambi. Waktu Abu merintis kebun pada 1980— 1981, Citrus nobilis hanya tanaman pekarangan di rumah-rumah penduduk. Pria yang waktu itu menjabat Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jambi memulai dengan membuka kebun seluas 5 ha di Tangkit, Jambi.

Jeruk menjadi pilihan lantaran Abu yakin prospeknya cerah. Bila rencana mengebunkan jeruk berhasil, kesuksesan itu ia ‘tularkan pada masyarakat setempat. Pilihan pada Jambi bukan semata-mata karena ia punya tanah di sana. Jambi dinilai sangat strategis.

Dari sana ayah 6 anak itu bisa menembus Jakarta, Malaysia, dan Singapura. Peluang pasar lokal Jambi pun besar.Buat mantan Direktur Direktorat Bina Program Departemen Pertanian itu faktor lingkungan mendukung pengembangan usaha. “Yang terpenting adalah akses dan prospek pasar. Dengan modal cukup, tanah yang kurang baik tinggal di-w/? grade saja,” kata Abu.

Manisnya berkebun jeruk pun ia rasakan. Pada tahun ke-5 Abu stfdah menuai untung dari lahan seluas 5 ha. Keuntungan diinvestasikan dalam bentuk kebun baru seluas 15 ha. Meski siem dan keprok mendominasi, hampir semua jenis jeruk ada di sana sebagai tanaman koleksi.

Di lahan tambahan Abu juga menanam durian, mangga, salak, sawo, dan lengkeng. Bila penanaman berhasil, komoditas-komoditas itu dikembangkan di kebun BHA. Misal, keprok batu yang hidup di dataran tinggi ternyata berbuah.(Tiga Varietas Jeruk Unggulan Nasional Hickson,Soe Dan Siem)

Pria yang tinggal di Kotabaru, Jambi, itu memang gemar bereksperimen. Dari percobaan itu ia menemukan pengaruh jarak tanam terhadap produktivitas buah. Ia menerapkan jarak tanam 4mx4m, 4mx3 m, dan 4 m x 5 m. “Ternyata yang bagus 4 m x 5 m,” ujarnya. Itu pula yang diterapkan di kebun BHA.

 
Varietas Unggulan

Banjir Pesanan

Namun, tak melulu madu yang dirasakan Abu. Keprok rentan serangan cendawan dibanding siem. Penyakit itu muncul ketika tanaman berbunga pada Juni dan Desember. Tahun silam 500 keprok mati dari total populasi 4.000 pohon mati serempak. “Hingga kini belum ada pestisida yang ampuh,” kata mantan aktivis organisasi HMI dan KAMI itu.

Batu sandungan tak hanya itu. Banjir besar Sungai Batanghari setahun silam meluluhlantakkan kebun BHA. Sekitar 20 ha jeruk umur produksi mati lantaran terendam air. Kematian pun menimpa 1.500 pohon durian berumur 4 tahun yang tersebar di areal 10 ha.

Gara-gara banjir akses jalan menuju lokasi putus. Untuk mengontrol kebun, Abu terpaksa menumpang kelotok  perahu kayu bermesin luar. Tak dinyana perahu rusak kala mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan itu hendak kembali ke Jambi. “Terpaksa menginap semalam. Untung hari berikutnya ada perahu lain yang mau menolong,” kenang Abu.

Meski begitu onak dan duri itu tak menyurutkan langkah Abu. Tahun depan ia berencana menambah lagi luasan kebun pribadi menjadi 24 ha. Senyum bahagia pun tersungging di wajah lantaran masyarakat setempat berbondong-bondong ikut mengembangkan jeruk.

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus