Pemilihan Lahan Yang Potensial Untuk Bertani Jeruk

Pemilihan Lahan Yang Potensial Untuk Bertani Jeruk

Gersang, kering, kuda liar, dan stepa membentang sejauh mata memandang. Itulah bayangan tentang Nusa Tenggara Timur selama ini. Semua anggapan itu langsung sirna kala kaki menjejak di Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

Perjalanan selama 3 jam dari Kupang menuju Soe di pertengahan April itu tak terasa melelahkan. Dari atas kendaraan yang melintasi jalan aspal mulus tapi sempit, mata dimanjakan pemandangan-pemandangan menawan.

Langit berwarna biru cerah tak berawan. Hijaunya dedaunan menyembul di sana-sini lantaran musim hujan baru saja usai. Sesekali di kiri-kanan jalan terlihat mawar liar memamerkan bunga berwarna terang. Kehadirannya diselingi poinsetia atau kastuba, dan lantana yang juga tumbuh tak bertuan.

Lukisan alam itu kian mempesona setiba di Soe, 130 km dari Kupang. Barisan bukit muncul bergantian dengan lembah nan curam. Hari benderang karena pancaran sinar matahari kerap berganti gelap lantaran kedatangan kabut yang tiba-tiba. Air sungai mengalir jernih memantulkan birunya langit. Kuda liar yang sejak keberangkatan ke Pulau Timor ada di benak, terlihat berkeliaran di padang rumput. Sapi-sapi nan gemuk pun merumput bebas.

 
Banjir buah meski belum dikelola intensif

Mayoritas Buah Jeruk Matang pohon

Meski matahari bersinar terik, udara dingin membungkus kulit. Maklum ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan itu terletak di ketinggian 750 m dpi. Udara kian menggigit kala perjalanan dilanjutkan ke arah bukit-bukit di rangkaian Pegunungan Mutis. Puncak tertinggi mencapai 2.427 m dpi. Di jajaran bukit-bukit itulah soe, keprok yang identik dengan kota pegunungan itu, menghampar.

Jangan bayangkan Citrus nobilis ditanam di perkebunan-perkebunan besar.Keprok mandarin itu tersebar di halaman-halaman rumah penduduk di desa-desa di Kecamatan Mollo Utara. Kecamatan beribukota Kapan itu salah satu sentra penanaman.

Kepemilikan pohon sangat bervariasi. Di salah satu halaman rumah penduduk yang disambangi hanya ada 20 batang, tapi di pekarangan rumah lain menghampar 200 pohon. Yang menanam hingga luasan 1 ha masih terhitung jari.

Menilik sosok tanaman, perawatan tidak intensif. Ranting-ranting tak berguna nglancir ke sana-ke mari karena tak pernah dipangkas. Tajuk terlihat gundul di beberapa sisi karena kekurangan daun. Tanpa pemupukan memadai pucuk baru enggan muncul.

Toh, pohon digelayuti buah berwarna hijau, hijau bersemburat jingga, dan jingga cerah jadi pemandangan lazim di sana. Dahan-dahannya doyong ke bawah lantaran keberatan buah. Kala buah matang serempak, daun seperti tenggelam oleh warna cerah jingga terang.

Penampilan menarik itu tak mengecewakan. Saat lidah mencecap daging buah, manis dan segar yang terasa. Yang paling enak bila yang dicicipi buah matang pohon. Cirinya kulit jingga terang dan mengeriput. Di pangkal buah ada benjolan seperti konde. Bila dipegang daging terasa empuk karena sudah terlepas dari kulit. Cita rasa manis kian dominan, apalagi bila buah didiamkan dulu 1 sampai 2 hari.

 
Grapefruit, masih belum dimanfaatkan

Dimanjakan alam

Kondisi alam di jajaran pegunungan Mutis itu memang mendukung produksi buah prima. Padahal kualitas tanah tak bisa dikatakan subur. Berbatu dan berkapur dengan lapisan solum tipis. Hanya saja karena tak pernah dimanfaatkan untuk budidaya intensif, ketersediaan unsur hara belum terkuras. Apalagi hampir tak ada serangan hama dan penyakit.

Ketersediaan air melimpah dan intensitas cahaya matahari tinggi sampai sekitar 12 jam sampai membuat proses fotosintesis optimal. Buah menjadi manis karena gula yang dihasilkan tinggi. Hawa dingin  kisaran suhu siang 23 sampai 24°C saat kemarau membuat warna kulit “keluar”.

Tak heran buat penduduk setempat soe merupakan sebuah berkah. Bila musim raya tiba, Juni sampai Juli, sampai gemerincing rupiah dipastikan masuk kantong para pemilik pohon. Dari tanaman berumur 10 tahun dituai 30 kg buah yang dilepas Rp8.000 sampai Rp 10.000 per kg. Bila ditebas dihargai Rp250.000 sampai Rp300.000 per pohon. Dengan 20 pohon di pekarangan berarti diperoleh pendapatan tambahan minimal Rp5-juta. Biaya perawatan nyaris nol.

Habis di tempat

Pantas saja bila pada 1997 sampai 2002 penanaman diperluas dengan bantuan dana dari pemerintah. Sentra baru dipusatkan di 4 desa di Kecamatan Mollo Utara, Mollo Selatan, dan Patumnasi. Total penanaman mencapai 500 ha. Sayang lantaran kurang terawat, yang bertahan hanya 30% dari total populasi.

Dari pekarangan-pekarangan rumah penduduk, jeruk dibawa pedagang ke Kupang. Di puncak musim, dengan mudah ia ditemukan di tepi-tepi jalan. Harganya Rp 15.000 per kg, berisi 8 sampai 10 buah. Pada kunjungan April itu harga masih mahal. Setumpuk berisi 5 buah dijual Rp5.000. Yang berukuran lebih besar Rp 10.000 per 5 buah. Harga lebih tinggi, Rp 12.000, untuk kualitas super yang sudah matang penuh berwarna j ingga terang.

Meski harga relatif tinggi, jeruk yang namanya baru mulai beken 10 tahun silam itu laris-manis. Lantaran habis di tempat, nyaris tak ada yang dikirim keluar daerah. Jeruk yang konon dibawa dari Tiongkok itu hanya sampai Jakarta bila ada perayaan Hari Kemerdekaan di Istana Negara. Atau dibawa mengisi acara-acara pameran. Beberapa dicicipi para juri Lomba Buah Unggul Nasional 2003 yang mengantarkannya menjadi juara pertama kategori jeruk.

Kekayaan Alam Yang Belum tergarap

Kekayaan kota yang namanya berarti memindahkan air itu tak hanya soe. Beragam jenis jeruk tumbuh subur di sana. Sebut saja kiser manis, jeruk manis terbaik yang pernah dicicipi. Sosok buah bulat sempurna dengan warna kuning menarik. Aroma harum tercium tajam dengan daging juicy yang manis segar. Dibandingkan baby pacitan, ia lebih enak.

Gregorius Hambali, pakar botani yang menyertai perjalanan, dengan antusias memanen rough lemon (RL). Jenis untuk batang bawah itu di Soe berbuah lebat dan besar-besar. Buah dibiarkan matang menguning di pohon. Satu-dua pohon pamelo, grapefruit, serta cleopatra, densy, dan miniola ketiganya jenis mandarin  pun ditemukan di pekarangan rumah penduduk. Setali tiga uang dengan soe, semua masih belum dibudidayakan optimal.

Itu belum termasuk beragam jenis mangga introduksi seperti R2E2, irwin, dan kensington asal Australia yang dikoleksi Balai Benih Induk (BBI) Oelbubuk. Atau hutan asam jawa Tamarindus indica yang siapa pun boleh memanen. Yang tidak dilupakan tentu saja cendana dan gaharu. Kayu-kayu harum itu melimpah di sana. Nun di kesunyian pegunungan Mutis, untaian mutiara itu menanti polesan

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus