Raup Untung Lewat Bisnis Jeruk Frimong

Raup Untung Lewat Bisnis Jeruk Frimong

Bulan-bulan ini Visan sibuk bolak-balik Bandung-Lembang. Maklum, sebagian jeruk freemont yang ditanam sejak 2000 mulai berproduksi. Dari 12 ha, separuhnya tengah berbuah.

Diperkirakan setiap pohon menghasilkan 10 kg. Dengan harga Rp5.000/kg, maka pengusaha di Bandung, Jawa Barat itu, meraup pendapatan Rp30-juta.

Visan memang tidak salah memilih freemont atau lebih populer disebut ffimong sebagai andalan. Varietas itu mampu berkembang baik di kawasan tropis. Frimong juga genjah dan produktif. “Umur 18 sampai 19 bulan sejak ditanam di lahan sudah berbuah,” kata pemilik salah satu rumah sakit ternama di Bandung, Jawa Barat, itu.

Frimong sebenarnya lahir di Florida, tetapi kemudian ditanam luas dan terkenal di California. Kini, frimong tidak lagi dijumpai di negara asal. Ia berkembang di negara lain, seperti Australia dan Thailand. Di Indonesia, frimong pertama kali ditanam PT Subur Setyadi Corporation di Sumedang seluas 500 ha. Lalu berkembang di Cianjur dan Lembang.

Marak di Lembang

Pengembangan Citrus nobilis itu semakin meluas sejak 4 tahun silam. Hal itu terlihat dari pembukaan lahan-lahan baru. Di Lembang tercatat 4 pekebun sukses mengembangkan frimong.

Adetek, pengusaha di Bandung, Jawa Barat, juga melirik menanam frimong pada 1999. Penanaman jeruk seluas 5 ha berada di samping salah satu perumahan mewah di Lembang. Kebun dibuat terasering dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Ketika Mitra Usaha Tani berkunjung separuh populasi sedang berbuah, sisanya berumur 2 tahun. Panen kali ini Adetek berharap menuai 10 kg dari setiap pohon. Itu berarti Rp25-juta bakal masuk ke pundi-pundi sang pemilik.

PT Sekar Gunung Lembang (Segulem) mengembangkan sejak 1997 di Kampung Cisaroni, Desa Cikahuripan, Lembang di lahan seluas 15 ha. Penanaman secara bertahap. Saat ini total populasi sekitar 20.000 pohon dengan jarak tanam 3 m x 3m.

Keuntungan Diperoleh Pada Panen ke-2

Menurut perhitungan Runah Heriyanto, konsultan jeruk di Lembang, pekebun frimong sudah meraup untung di panen ke-2 atau saat tanaman berumur 4 tahun setelah ditanam. “Setiap pohon hingga berbuah butuh modal Rp50.000. Dana itu sudah termasuk beli bibit seharga Rp 10.000 dan gaji karyawan. Sewa lahan tidak diperhitungkan dalam analisis usaha,” katanya.

Itu berarti untuk membuka lahan seluas 1 ha berisi 1.000 pohon dengan jarak tanam 3 m x 3 m dibutuhkan sekitar Rp50-juta hingga panen perdana. “Kalau mulus, panen berikutnya diperkirakan 20 ton. Itu berarti modal sudah tertutupi bahkan pekebun meraup untung,” imbuhnya.

Lantaran prospektif, tak heran bila Visan tengah menyiapkan 5.000 bibit tambahan. Itu berarti seluas 5 ha lagi bakal dibuka untuk penanaman di sekitar Lembang. Melihat itu, “Beberapa pekebun sekitar juga mulai banyak yang tertarik. Masalah modal, bank setempat siap meminjami,” ujar Heriyanto.

Meluas

Lokasi pengembangan tak hanya di Lembang, frimong juga ditanam di Subang dan Cianjur. Menurut Heriyanto jeruk itu cocok ditanam di daerah berketinggian 600 m sampai 1.000 m dpi. “Majalengka juga potensial untuk penanaman frimong,” ujar Heriyanto.

Segulem mengembangkan di Desa Batukapur, Kecamatan Sagalaherang, Subang, seluas 70 ha. Populasinya sekitar 40.000 pohon. Saat ini tanaman yang berproduksi baru separuhnya.

Nun di Cianjur Selatan juga menghampar frimong. Kebun seluas 120 ha itu dikembangkan oleh PT Sumber Rejeki Tanindo Ciasmey. Penanaman dilakukan secara bertahap sejak 1996. Dengan jarak tanam 3 m x 3 m, total populasi di kebun itu mencapai 100.000 pohon.

Pasar terbuka

Pemasaran tidak menjadi masalah bagi Ciasmey. Jeruk yang dipasarkan dengan merek Freemont dipasok ke pedagang grosir di Cirebon, Brebes, Jakarta, Bandung, dan Cianjur. Sebelum panen kadang sudah dipesan pedagang. Bahkan, ada juga permintaan yang tidak bisa dipenuhi. Permintaan dari salah satu pedagang di Cirebon sebanyak 3 ton per sekali panen saja belum juga terpenuhi.

Segulem juga tidak merasa kesulitan memasarkan hasil. Panenan dijual ke Bandung dan Jakarta setelah disortir menurut ukuran. Pengiriman ke pasar swalayan ditangani sendiri. “Grade A dan B saja yang dikirim. Grade C untuk pasar lokal. Pedagang setempat biasanya ambil sendiri ke lokasi. Kata Zainuri, staf produksi Segulem.

Meski baru panen perdana, Visan tak perlu jauh-jauh mencari pasar. Seorang pedagang siap memetik hasil di kebun. “Pemasaran oke oke saja. Pohon belum berbuah pun sudah ada yang berani menampung,” ujar Wawan, pengelola kebun milik Visan.

Harga Jual Yang Bersaing

Frimong memang punya keistimewaan dibanding jeruk lain. Penampilan buah menarik dan rasa manis menyegarkan. Tak heran bila ia diminati konsumen. Harga anggota famili Rutaceae itu tinggi. Sekilo buah di kebun mencapai Rp6.000 untuk grade A (sekilo isi 6 sampai 8 butir). Grade B (sekilo isi 10 sampai 12 butir) Rp5.000. Sementara grade C (sekilo isi 14 sampai 16 butir) dijual Rp4.000.

Sayang kualitas frimong lokal masih kalah dengan yang impor. Kulit buah masih belang hijau oranye dan permukaan kulit tidak semulus frimong impor. “Rasa manis masih bercampur asam. Padahal, konsumen Indonesia menyukai jeruk berasa manis, tanpa asam,” kata Tatang Halim, pedagang buah di Muarakarang, Jakarta Utara.

Wajar, harga frimong anjlok begitu jeruk asal Brastagi, Medan, membanjiri pasar-pasar buah. “Kalau musim panen berbarengan, harga pasti turun. Apalagi konsumen kita mayoritas masih memilih harga murah,” kata Zainuri.

Agar mendapat harga tinggi, pemasaran frimong idealnya ke pasar swalayan. Sayangnya, untuk memperoleh kualitas A dan B sulit. “Karena kendala alam sulit mempertahankan kualitas dan kuantitas buah. Mesti pupuk, pemangkasan, dan penyiraman sudah sesuai aturan, tetap saja grade A hanya 30%. Grade C yang lebih banyak,” ucap Zainuri.

Chokun

Perjalanan Ciasmey dalam mengembangkan frimong pun mendapatkan kendala. Serangan penyakit menjadi musuh utama. Di akhir kemarau tungau mengganas, sementara musim hujan muncul cendawan. Memang belum mendatangkan kerugian yang berarti. Namun, kehadiran mereka tetap diwaspadai. Apalagi sebagian bibit frimong belum melalui screening sehingga dikhawatirkan penyakit bakal meledak.

Sebetulnya selain frimong ada chokun yang prospektif dikembangkan. Jeruk asal Australia itu memiliki kelebihan pada cita rasa manis segar. Penampilan buah menarik, kulit tipis warna kuning cerah semburat kehijauan. PT Sungai Budi, salah satu anak perusahaan Grup Bumi Waras, mengembangkan chokun seluas 500 ha di Mesuji, Lampung Utara. Sayang, hingga kini belum ada pengusaha lain yang tertarik mengembangkan lantaran bibit sulit didapat.

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus