Bila sekali waktu Anda datang ke sentra penanaman salak di Desa Telagae, Karangasem, Bali, cobalah tengok ke toko-toko penjaja oleh-oleh khas setempat. Di situ tersedia botol-botol transparan berisi larutan bening. Anda Yang tak meminum alkohol, hati-hati. Itu anggur hasil fermentasi salak bali. Tetap penasaran ingin mencicipi? "Rasanya seperti tapai ketan," tutur I Wayan Putu Ardika, ketua Kelompok Tani Mekarsari.
Kelompok tani anggota Kelompok Usaha Bersama Lestari itu salah satu penghasil wine asal buah Salacca zalacca.
Bahan baku berupa buah apkir yang tidak laku dijual segar karena ukuran terlalu kecil atau kulit cacat. Yang banyak dimanfaatkan varietas lokal: nangka, nanas, dan getih (artinya darah) semua disebut salak bali.
Daging dipisahkan dari kulit dan biji. Kemudian diparut dan diperas. Air perasan lantas difermentasi sehingga keluar kandungan alkohol.
Sebelum dikemas dalam botol-botol transparan ia diproses agar kelihatan bening. Itulah yang dijajakan di toko-toko di seputaran Karangasem.

Buah salak itu memang kerap dibuat olahan. Yang paling sering jadi asinan atau manisan seperti yang dilakukan para perajin di Sukabumi atau Cianjur.
Permen salak hasil olahan dari Sibetan, Karangasem, juga tak kalah enak. Bahkan kini salak mulai dikalengkan. Penampilannya jadi lebih eksklusif.
Meski demikian, pemanfaatan sebagai buah segar tetap yang utama. Siapa tak suka salak pondoh andalan Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Ukuran buah memang relatif kecil ketimbang jenis lain, misal salak super asal Desa Blitar, Banjarnegara, Jawa Tengah. Namun, jangan tanya rasanya. Manis tanpa sepat meski buah masih muda.
Itu memang keunggulan salak berdaging putih seperti pucuk kelapa yang masih terbungkus pelepah itu (disebut pondoh, dalam bahasa Jawa). Sebagai konsekuensi harga relatif tinggi.
Buah berkualitas baik di tingkat pekebun dibeli Rp5.000 – Rp6.000 per kg. Sampai di tangan konsumen lokal Rp8.000; luar kota seperti Jakarta apalagi masuk ke pasar swalayan mencapai Rp12.000.
Wajar bila ia marak dikembangkan di luar sentra penanaman. Menurut Sumitra, SP, staf Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Bangka Belitung, di bekas wilayah Sumatera Selatan itu sejak 5 tahun silam ditanam salak pondoh seluas 20 ha. Padahal di sana juga ada salak hijau lokal unggulan.
Ya, untung saja seorang meneer Belanda berbaik hati meninggalkan kenang-kenangan 4 pot salak untuk Partomejo, Kabayan (kepala kampung, bahasa Jawa) Desa Merdikareja, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Kejadiannya sebelum kepulangan pegawai perkebunan tembakau itu ke negeri Kincir Angin pada 1917.
Bibit salak lantas diperbanyak oleh Muhadiwinata putra Partomejo hingga 1.000 pohon pada 1954. Dari Dusun Soka lokasi kebun salak pondoh menyebar ke Semarang, Wonosobo, Boyolali hingga Lampung.
Di Karangasem pun buah segar tetap dinomorsatukan ketimbang wine, permen, atau asinan. Andalan dari Pulau Dewata ialah kultivar gula pasir. Seperti namanya ia semanis gula pasir, pun ketika buah masih muda. I Wayan Putu Ardika menanam seluas 0,5 ha di Desa Telagae.
Sudah sejak setengah abad silam ia dikembangkan, terutama di Desa Sibetan. Semula disebut salak kuud (artinya kelapa muda Bahasa Bali) lantaran rasa seperti degan.
Nama gula pasir disematkan oleh Syarifudin Baharsjah mantan menteri pertanian pada masa Presiden Soeharto sampai pada 1989 atas usulan masyarakat setempat.
Nah, kalau Anda sempat mencicipi salak gula pasir di sentra jangan kaget kalau ada orang menunggui. Tak perlu erprasangka buruk, mereka cuma berharap Anda segera membuang biji ke tempat sampah. Begitu Anda pergi, mereka segera memburu biji-biji itu.
Biji salak itu memang sama berharga seperti buahnya. Pada saat produksi membludak harga buah segar berkualitas baik di tingkat petani Rp 15.000 per kg isi 8 sampai 12 buah.
Paceklik, Rp40.000 per kg. Tak heran banyak orang tertarik menanam. Lantaran perbanyakan bibit di sana mayoritas masih dari biji, bakal buah itu jadi incaran. Sebutir dihargai Rp 1.000.
Ibukota negara juga sempat terkenal dengan salak condet-nya. Bahkan salak asal Condet, Jakarta Timur, itu dijadikan lambang Provinsi DKI Jakarta.
Sayang ia kini terancam punah. Di daerah asal produktivitas hanya 10 – 20 buah per pohon per tahun. Padahal jenis lain umumnya 20 – 50 buah. Itu karena ia masih ditanam secara tradisional. Belum lagi jumlah lahan penanaman yang terus berkurang.

Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki salak lokal unggulan. Dari sekitar 20-an jenis yang ditemukan di dunia, sebagian besar memang tumbuh liar di Indonesia. Provinsi Bangka Belitung punya salak hijau asal Desa Airjukung, Kecamatan Belinyu.
Disebut salak hijau lantaran kulit bertahan hijau, meski sudah masak. Namun, yang disaksikan budidayatani di Pameran Produk Indonesia, Balai Sidang Jakarta, kulit berubah cokelat.
Diduga akibat pendingin ruangan. Ketika tiba di Jakarta masih hijau. Dua hari kemudian berubah cokelat. Padahal di daerah asal, hijau di kulit bertahan hingga sepekan.
Menurut Gregori Hambali jarang sekali buah tetap berwarna hijau hingga masak. Kecuali pada beberapa jenis mangga seperti kueni yang hampir tidak mengalami perubahan warna.
Lazimnya begitu masak warna buah berubah kuning atau merah karena klorofil terdegradasi. "Kalau benar ada salak tetap berwarna hijau saat masak, itu bagus," tutur kolektor salak di Bogor itu.
Di daratan Sumatera terdapat jenis liar lain: Salacca sumatrana termasuk salak padang sidempuan yang sudah dibudidayakan, S. dubia, S. acehensis, dan S. palembanica.
Di Kalimantan ada S. magnified, S. dranfieldiana, dan S. vermiculata. Di Ambon, Temate, Manado, Sumba, dan Lombok tumbuh jenis 5. amboinensis.
Untuk mendeteksi keberadaan salak liar di hutan, "Paling mudah dari kehadiran serangga penyerbuk jenis bermoncong seperti kutu beras," kata Greg Hambali. Buah liar biasanya sepat sampai sifat itu masih terbawa oleh beberapa jenis yang sudah dibudidayakan.
Dengan keragaman jenis itu wajar Indonesia dianggap gudangnya salak. Meski demikian, buah berkulit bak sisik ular itu juga ditemukan di negara-negara jiran.
Greg Hambali mengoleksi salak asal Malaysia berdaging tebal, kaya air dengan rasa segar. Jenis itu mulai dikebunkan di negara bagian Trengganu. Kelebihannya ia mudah dipanen karena tandan buah keluar dari ketiak daun.
Lagipula produksi tinggi, pohon dewasa mencapai. 140 kg per tahun. Itu karena terdapat 6 – 8 dompol buah per pembungaan. Salak lokal Indonesia hanya 3 – 4 dompol.
Banyaknya dompolan mempermudah penjarangan agar ukuran buah besar tanpa mengurangi total produksi. Salak malaysia kualitas super dijual 20 – 30 ringgit setara Rp50.000 – Rp75.000 per kg di Kualalumpur.
Negeri Gajah Putih Thailand juga penghasil salak. budidayatani pernah mencicipi saat berkunjung ke Suphattra Land, kawasan agrowisata di Provinsi Rayong. Bentuk kurus dan lonjong.
Daging buah merah menarik. Sayang rasa asam dan sepat. Kumbar sebutan di Siam dimanfaatkan sebagai penyedap masakan. Di Filipina selatan ditemukan jenis salak yang juga tumbuh liar di Kalimantan Timur.
Negara-negara Asia Tenggara memang habitat asal salak. Namun, penanaman secara komersial baru dikenal di Indonesia, kemudian diikuti Thailand dan Malaysia.
"Di Queensland, Australia, ada tapi untuk keperluan riset saja," ujar Greg Hambali. Di Florida, Amerika Serikat, ia hanya sebatas tanaman koleksi.
Di negara-negara itu pun masih sulit menemukan salak meski di pasar swalayan. Ia memang belum sepopuler mangga atau manggis. Kalau ada, besar kemungkinan itu asal Indonesia.

Produksi salak Indonesia memang tak melulu diserap konsumen lokal. Sampai 1998 sebuah perusahaan eksportir di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, masih mengekspor 500 kg per bulan.
Negara tujuan utama ialah Belanda dan Arab Saudi. Toh, jumlah yang diekspor tetap lebih kecil lantaran habis terserap pasar lokal. Maklum rasa buah cocok hampir di lidah setiap orang.
Makanya ia marak dibudidayakan di berbagai daerah. Lokasi penanaman tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara.
Apalagi teknis penanaman tidak terlalu sulit. Kerabat kelapa sawit itu tumbuh di daerah dengan ketinggian 200 sampai 700 m dpi. Pada ketinggian hingga 1.000 m dpi ia sulit berbuah.
Lokasi penanaman di bekas tumpukan debu vulkanik menghasilkan kualitas lebih baik. Misal salak pondoh di lereng Gunung Merapi; manonjaya di kaki Gunung Galunggung; dan gulo pasir di Gunung Agung.
Kebutuhan sinar matahari 50 sampai 70% sehingga perlu naungan, seperti lamtoro Leucaena glauca dan dadap Erythrina sp. Bunga jantan menjadi steril bila terkena sinar matahari langsung; buah belah-belah.
Tanpa naungan penanaman diperapat. Suhu ideal 18 sampai 25°C dan pH tanah 5 sampai 7. Suhu terlalu tinggi mempengaruhi pembentukan biji dan daging.
Terlalu rendah menghambat pembungaan. Panjang bulan kering antara 3 sampai 4 bulan. Lebih dari 6 bulan masih cocok asalkan kebutuhan air tetap tercukupi. Misal dengan menggunakan sistem pengairan leb. Pengaturan pengairan memungkinkan salak berbuah sepanjang tahun.
Kehadiran salak membawa berkah lain untuk penduduk di sentra penanaman. Sibetan menjadi populer ke seluruh negeri sejak menjadi sentra penanaman terbesar di Bali. Tak heran banyak pelancong berkunjung ke sana.
Apalagi ia terletak di jalur wisata menuju Desa Putung yang berpemandangan terassering padi dan Tulamben terkenal dengan taman lautnya. Pulang dari desa berjarak tempuh 2 jam dari Denpasar itu sekeranjang salak gula pasir jadi oleh-oleh favorit.
Perayaan Tumpek Pengatang atau Tumpuk Uduh manifestasi rasa syukur atas tanaman yang subur dan banyak menghasilkan buah jadi atraksi menarik untuk para turis.
Dalam upacara itu biasa ditampilkan tari topeng, rejang, dan pendet diiringi gamelan. Industri serupa tumbuh di Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Sleman, di jalur wisata Yogyakarta Borobudur. Pengunjung boleh memetik sendiri buah di kebun salak pondoh yang berproduksi tanpa musim
Kelompok tani anggota Kelompok Usaha Bersama Lestari itu salah satu penghasil wine asal buah Salacca zalacca.
Bahan baku berupa buah apkir yang tidak laku dijual segar karena ukuran terlalu kecil atau kulit cacat. Yang banyak dimanfaatkan varietas lokal: nangka, nanas, dan getih (artinya darah) semua disebut salak bali.
Daging dipisahkan dari kulit dan biji. Kemudian diparut dan diperas. Air perasan lantas difermentasi sehingga keluar kandungan alkohol.
Sebelum dikemas dalam botol-botol transparan ia diproses agar kelihatan bening. Itulah yang dijajakan di toko-toko di seputaran Karangasem.

Pohon Salak Warisan Belanda
Buah salak itu memang kerap dibuat olahan. Yang paling sering jadi asinan atau manisan seperti yang dilakukan para perajin di Sukabumi atau Cianjur.
Permen salak hasil olahan dari Sibetan, Karangasem, juga tak kalah enak. Bahkan kini salak mulai dikalengkan. Penampilannya jadi lebih eksklusif.
Meski demikian, pemanfaatan sebagai buah segar tetap yang utama. Siapa tak suka salak pondoh andalan Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Ukuran buah memang relatif kecil ketimbang jenis lain, misal salak super asal Desa Blitar, Banjarnegara, Jawa Tengah. Namun, jangan tanya rasanya. Manis tanpa sepat meski buah masih muda.
Itu memang keunggulan salak berdaging putih seperti pucuk kelapa yang masih terbungkus pelepah itu (disebut pondoh, dalam bahasa Jawa). Sebagai konsekuensi harga relatif tinggi.
Buah berkualitas baik di tingkat pekebun dibeli Rp5.000 – Rp6.000 per kg. Sampai di tangan konsumen lokal Rp8.000; luar kota seperti Jakarta apalagi masuk ke pasar swalayan mencapai Rp12.000.
Wajar bila ia marak dikembangkan di luar sentra penanaman. Menurut Sumitra, SP, staf Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Bangka Belitung, di bekas wilayah Sumatera Selatan itu sejak 5 tahun silam ditanam salak pondoh seluas 20 ha. Padahal di sana juga ada salak hijau lokal unggulan.
Ya, untung saja seorang meneer Belanda berbaik hati meninggalkan kenang-kenangan 4 pot salak untuk Partomejo, Kabayan (kepala kampung, bahasa Jawa) Desa Merdikareja, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Kejadiannya sebelum kepulangan pegawai perkebunan tembakau itu ke negeri Kincir Angin pada 1917.
Bibit salak lantas diperbanyak oleh Muhadiwinata putra Partomejo hingga 1.000 pohon pada 1954. Dari Dusun Soka lokasi kebun salak pondoh menyebar ke Semarang, Wonosobo, Boyolali hingga Lampung.
Salak dari Karang Asem selalu Ditunggui
Di Karangasem pun buah segar tetap dinomorsatukan ketimbang wine, permen, atau asinan. Andalan dari Pulau Dewata ialah kultivar gula pasir. Seperti namanya ia semanis gula pasir, pun ketika buah masih muda. I Wayan Putu Ardika menanam seluas 0,5 ha di Desa Telagae.
Sudah sejak setengah abad silam ia dikembangkan, terutama di Desa Sibetan. Semula disebut salak kuud (artinya kelapa muda Bahasa Bali) lantaran rasa seperti degan.
Nama gula pasir disematkan oleh Syarifudin Baharsjah mantan menteri pertanian pada masa Presiden Soeharto sampai pada 1989 atas usulan masyarakat setempat.
Nah, kalau Anda sempat mencicipi salak gula pasir di sentra jangan kaget kalau ada orang menunggui. Tak perlu erprasangka buruk, mereka cuma berharap Anda segera membuang biji ke tempat sampah. Begitu Anda pergi, mereka segera memburu biji-biji itu.
Biji salak itu memang sama berharga seperti buahnya. Pada saat produksi membludak harga buah segar berkualitas baik di tingkat petani Rp 15.000 per kg isi 8 sampai 12 buah.
Paceklik, Rp40.000 per kg. Tak heran banyak orang tertarik menanam. Lantaran perbanyakan bibit di sana mayoritas masih dari biji, bakal buah itu jadi incaran. Sebutir dihargai Rp 1.000.
Ibukota negara juga sempat terkenal dengan salak condet-nya. Bahkan salak asal Condet, Jakarta Timur, itu dijadikan lambang Provinsi DKI Jakarta.
Sayang ia kini terancam punah. Di daerah asal produktivitas hanya 10 – 20 buah per pohon per tahun. Padahal jenis lain umumnya 20 – 50 buah. Itu karena ia masih ditanam secara tradisional. Belum lagi jumlah lahan penanaman yang terus berkurang.

Potensi Salak hijau
Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki salak lokal unggulan. Dari sekitar 20-an jenis yang ditemukan di dunia, sebagian besar memang tumbuh liar di Indonesia. Provinsi Bangka Belitung punya salak hijau asal Desa Airjukung, Kecamatan Belinyu.
Disebut salak hijau lantaran kulit bertahan hijau, meski sudah masak. Namun, yang disaksikan budidayatani di Pameran Produk Indonesia, Balai Sidang Jakarta, kulit berubah cokelat.
Diduga akibat pendingin ruangan. Ketika tiba di Jakarta masih hijau. Dua hari kemudian berubah cokelat. Padahal di daerah asal, hijau di kulit bertahan hingga sepekan.
Menurut Gregori Hambali jarang sekali buah tetap berwarna hijau hingga masak. Kecuali pada beberapa jenis mangga seperti kueni yang hampir tidak mengalami perubahan warna.
Lazimnya begitu masak warna buah berubah kuning atau merah karena klorofil terdegradasi. "Kalau benar ada salak tetap berwarna hijau saat masak, itu bagus," tutur kolektor salak di Bogor itu.
Di daratan Sumatera terdapat jenis liar lain: Salacca sumatrana termasuk salak padang sidempuan yang sudah dibudidayakan, S. dubia, S. acehensis, dan S. palembanica.
Di Kalimantan ada S. magnified, S. dranfieldiana, dan S. vermiculata. Di Ambon, Temate, Manado, Sumba, dan Lombok tumbuh jenis 5. amboinensis.
Untuk mendeteksi keberadaan salak liar di hutan, "Paling mudah dari kehadiran serangga penyerbuk jenis bermoncong seperti kutu beras," kata Greg Hambali. Buah liar biasanya sepat sampai sifat itu masih terbawa oleh beberapa jenis yang sudah dibudidayakan.
Salak dari Negeri jiran
Dengan keragaman jenis itu wajar Indonesia dianggap gudangnya salak. Meski demikian, buah berkulit bak sisik ular itu juga ditemukan di negara-negara jiran.
Greg Hambali mengoleksi salak asal Malaysia berdaging tebal, kaya air dengan rasa segar. Jenis itu mulai dikebunkan di negara bagian Trengganu. Kelebihannya ia mudah dipanen karena tandan buah keluar dari ketiak daun.
Lagipula produksi tinggi, pohon dewasa mencapai. 140 kg per tahun. Itu karena terdapat 6 – 8 dompol buah per pembungaan. Salak lokal Indonesia hanya 3 – 4 dompol.
Banyaknya dompolan mempermudah penjarangan agar ukuran buah besar tanpa mengurangi total produksi. Salak malaysia kualitas super dijual 20 – 30 ringgit setara Rp50.000 – Rp75.000 per kg di Kualalumpur.
Negeri Gajah Putih Thailand juga penghasil salak. budidayatani pernah mencicipi saat berkunjung ke Suphattra Land, kawasan agrowisata di Provinsi Rayong. Bentuk kurus dan lonjong.
Daging buah merah menarik. Sayang rasa asam dan sepat. Kumbar sebutan di Siam dimanfaatkan sebagai penyedap masakan. Di Filipina selatan ditemukan jenis salak yang juga tumbuh liar di Kalimantan Timur.
Negara-negara Asia Tenggara memang habitat asal salak. Namun, penanaman secara komersial baru dikenal di Indonesia, kemudian diikuti Thailand dan Malaysia.
"Di Queensland, Australia, ada tapi untuk keperluan riset saja," ujar Greg Hambali. Di Florida, Amerika Serikat, ia hanya sebatas tanaman koleksi.
Di negara-negara itu pun masih sulit menemukan salak meski di pasar swalayan. Ia memang belum sepopuler mangga atau manggis. Kalau ada, besar kemungkinan itu asal Indonesia.

Syarat tumbuh
Produksi salak Indonesia memang tak melulu diserap konsumen lokal. Sampai 1998 sebuah perusahaan eksportir di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, masih mengekspor 500 kg per bulan.
Negara tujuan utama ialah Belanda dan Arab Saudi. Toh, jumlah yang diekspor tetap lebih kecil lantaran habis terserap pasar lokal. Maklum rasa buah cocok hampir di lidah setiap orang.
Makanya ia marak dibudidayakan di berbagai daerah. Lokasi penanaman tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara.
Apalagi teknis penanaman tidak terlalu sulit. Kerabat kelapa sawit itu tumbuh di daerah dengan ketinggian 200 sampai 700 m dpi. Pada ketinggian hingga 1.000 m dpi ia sulit berbuah.
Lokasi penanaman di bekas tumpukan debu vulkanik menghasilkan kualitas lebih baik. Misal salak pondoh di lereng Gunung Merapi; manonjaya di kaki Gunung Galunggung; dan gulo pasir di Gunung Agung.
Kebutuhan sinar matahari 50 sampai 70% sehingga perlu naungan, seperti lamtoro Leucaena glauca dan dadap Erythrina sp. Bunga jantan menjadi steril bila terkena sinar matahari langsung; buah belah-belah.
Tanpa naungan penanaman diperapat. Suhu ideal 18 sampai 25°C dan pH tanah 5 sampai 7. Suhu terlalu tinggi mempengaruhi pembentukan biji dan daging.
Terlalu rendah menghambat pembungaan. Panjang bulan kering antara 3 sampai 4 bulan. Lebih dari 6 bulan masih cocok asalkan kebutuhan air tetap tercukupi. Misal dengan menggunakan sistem pengairan leb. Pengaturan pengairan memungkinkan salak berbuah sepanjang tahun.
Wisata agro
Kehadiran salak membawa berkah lain untuk penduduk di sentra penanaman. Sibetan menjadi populer ke seluruh negeri sejak menjadi sentra penanaman terbesar di Bali. Tak heran banyak pelancong berkunjung ke sana.
Apalagi ia terletak di jalur wisata menuju Desa Putung yang berpemandangan terassering padi dan Tulamben terkenal dengan taman lautnya. Pulang dari desa berjarak tempuh 2 jam dari Denpasar itu sekeranjang salak gula pasir jadi oleh-oleh favorit.
Perayaan Tumpek Pengatang atau Tumpuk Uduh manifestasi rasa syukur atas tanaman yang subur dan banyak menghasilkan buah jadi atraksi menarik untuk para turis.
Dalam upacara itu biasa ditampilkan tari topeng, rejang, dan pendet diiringi gamelan. Industri serupa tumbuh di Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Sleman, di jalur wisata Yogyakarta Borobudur. Pengunjung boleh memetik sendiri buah di kebun salak pondoh yang berproduksi tanpa musim