Seorang pramuwisma bergegas mendatangi gerai buah begitu memasuki sebuah pasar swalayan lokal terkenal di Jakarta. Matanya mencari-cari bagian yang memajang melon. Di sana melon produksi 3 perusahaan berjejer berdampingan. Tak banyak memilih ia langsung memindahkan red sweet berlabel ABC ke dalam keranjang.
Meski terbilang baru dibanding produsen lain, bukan berarti PT Agro Bangun Cipta (ABC) “anak bawang” di pasar melon. Setiap hari perusahaan itu mengirim 4-5 ton melon kualitas A ke Jakarta. Itu untuk memasok pasar swalayan Hero, Hari-Hari, Popaye, dan Tops. Di seputaran Jawa Tengah, ia hanya memasok Hero. Itu baru red sweet. Padahal, produsen melon sejak 1994 itu juga menghasilkan birdie red dan super sweet yang dikembangkan belakangan.
Melon red sweet berdaging oranye memang andalan perusahaan berpusat di Pekalongan, Jawa Tengah itu. Terbukti meski bersaing dengan produk sejenis bermerek terkenal, ia kerap paling cepat habis. Tak berlebihan karena sesuai namanya melon itu dijamin manis. Lagi pula tahan lama, 3-4 minggu disimpan tanpa pendingin tidak rusak.
Semula ditolak
Melon-melon itu memang tidak dihasilkan kebun ABC sendiri. Sebanyak 60-70% pasokan red sweet yang mencapai 60 ton per bulan dihasilkan oleh petani mitra. Mereka tersebar di Magelang, Klaten, Salatiga, Ngawi, dan Madiun.
Tak semua produk petani mitra langsung diterima. Melon harus sesuai standar: berat di atas 1,25 kg, bentuk dan urat bagus, serta tidak ada bekas serangan hama penyakit. Tingkat kemanisan red sweet harus mencapai 13-14 brix; birdie red, 14-15 brix; dan super sweet, 15- 16 brix, bahkan untuk produksi sendiri mencapai 18 brix.
Di luar kualitas itu ABC menolak. “Perusahaan harus menjaga brand image yang sudah tertanam sebelumnya di benak konsumen. Kalau beli melon ABC, pasti manis,” tutur Tanto Nugraha, pemilik ABC. Dengan mengikuti petunjuk dari 12 tenaga ahli yang ditempatkan di sentra-sentra mitra, produksi petani 90-95% memenuhi syarat.
ABC tak langsung sukses memasarkan melon-melon berkualitas. Ia sempat bermain melon-melon biasa, seperti sky rocket saat awal penanaman pada 1994. Lantaran jenis itu mudah dibudidayakan, banyak pekebun menanam. Akibatnya, pasar banjir dan harga turun. Tanto-panggilan akrab Tanto Nugraha-segera memutar otak agar usahanya tak diombang-ambing pasar.
Akhirnya ia menemukan rumus mujarab. “Saya harus punya barang berkualitas dan belum ada yang mengusahakan serta pasar yang terjamin,” tutur pria berkacamata itu.
Enam tahun lalu mulailah ia mengembangkan melon berdaging oranye. Itu pun tak sekaligus menemukan jenis yang tepat. Tanto mencoba beberapa varietas keluaran Taiwan, Jepang, Australia, Israel, dan Amerika Serikat. “Akhirnya didapat satu jenis yang paling bagus, red sweet,” kata pria yang pernah bekerja di perusahaan pengolahan teh keluarga itu.
Pasar swalayan jadi pilihan untuk memasarkan melon baru itu karena ada jaminan harga. Toh, itu tidak mudah. Hero yang pertama kali didatangi sempat menolak karena khawatir konsumen tidak menyukai produk baru itu. Memang waktu itu baru ABC satu-satunya yang menghasilkan melon berdaging oranye. “Akhirnya saya beri sample 20% setiap pengambilan,” kata Tanto. Artinya bila pasar swalayan mengambil 100 kg maka mereka mendapat cuma-cuma 20 kg. Cara itu terbukti sukses membuka pasar. “Sekarang kita tidak pernah kelebihan barang, malah kurang terus,” ujar pria ramah itu.
Pahitnya cabai
Merek ABC tak melulu identik dengan melon berkualitas. Cobalah melihat tumpukan semangka yang biasa disandingkan dengan melon di gerai pasar swalayan. Di antaranya ada semangka berdaging kuning dengan merek ABC. Salak pondoh berukuran super isi 12-13 buah per kg dalam keranjang bambu dilabeli merek sama. Sementara di gerai sayuran cabai hot beauty dan hot chilli serta petai kupas berlabel ABC dikemas rapi dalam styrofoam dan plastik wrapping. Cabai dan semangka malah komoditas pertama yang dikembangkan sejak 1989.
“Dibanding melon saya justru lebih banyak makan asam garam di cabai,” tutur Tanto. Ia pernah mengecap manisnya pasar ekspor Singapura dan Taiwan. Pahitnya bisnis cabai karena harga anjlok pun sempat dialami. Dua hari setelah perayaan Idul Fitri pada 1993 ayah 2 anak itu diminta memasok cabai oleh pedagang besar di pasar induk Kramatjati, Jakarta Timur. Harga disepakati Rp3.000 per kg. Pagi-pagi sekali Tanto langsung mengontak para pengepul di seputaran Muntilan, Magelang. Apa lacur, begitu 2 truk cabai tiba sore hari harga hanya Rp 1.800 per kg.
Kejadian itu sempat membuat Tanto surut langkah menggeluti agribisnis. Pasalnya, seminggu menjelang Idul Fitri tahun sebelumnya ia juga mengalami hal serupa. Selama 3 hari berturut-turut pasar induk dibanjiri cabai dari kebun di Sulawesi milik keluarga orang berkuasa saat itu. “Tiga hari sudah cukup membuat hancur pemain cabai lain,” tutur alumnus sekolah teknik di Pekalongan itu. Nilai jual si pedas melorot hingga tinggal Rp900 per kg. Padahal waktu itu mestinya harga mencapai Rp4.000.
Untunglah ia segera banting setir melirik pasar swalayan. Mula-mula dicoba memasuki pasar melalui pedagang perantara. Namun, urung dilakukan karena tidak ada kesepakatan harga. Akhirnya Tanto menawarkan sendiri produknya. “Waktu itu pihak pasar swalayan kaget sendiri karena cabai ABC bisa sangat murah, Rp2.350 per kg. Padahal pemasok lain mematok harga Rp4.500,” ujarnya. Lantaran pasokan lebih segar dan sortasi lebih bagus, cabai ABC langsung diterima.
Ekspor terbentang
Menyusul kesuksesan itu, petai, semangka, melon, dan salak yang dikembangkan berikutnya lebih mudah masuk pasar. Kini setiap hari 2-4 truk mengangkut melon, semangka, salak, cabai, dan petai keluar dari kebun-kebun mitra menuju Jakarta.
Pasar ekspor pun kembali terbentang. Singapura dan Taiwan minta dipasok melon red sweet. Sayang sampai saat ini belum ada kata sepakat sehingga penanaman masih ditahan. “Saya tidak ingin membanjiri pasar lokal kalau sampai order dari importir ternyata tak diambil,” kata Tanto. Manisnya agribisnis dirasakan ABC setelah hampir 20 tahun bekerja keras.