Harga Jual Makin Menurun, Patin Mulai Ditinggalkan

Lebih dari 20 ekor induk patin milik H. Pepen Effendie kini dibiarkan "menganggur" dijaring apung berukuran 7 m x7 m. Padahal, sampai 2 tahun lalu induk sepanjang lengan orang dewasa itu masih menjadi mesin produksi untuk meraup laba. "Dulu produksi bisa mencapdf 150.000 benih per bulan," papar peternak ikan di Waduk Cirata, Cianjur, itu. Sepinya permintaan benih membuat Pepen menghentikan produksi.

Tak hanya Pepen yang menghentikan produksi benih. Hatchery milik Budi di Desa Maleber, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur. Padahal menurut Deddy, staf hatchery, produksi benih mencapai 200.000 ekor per bulan.

Untuk mengisi kekosongan bak pendederan, Budi saat ini hanya membeli larva dari hatchery lain dan membesarkan hingga ukuran 2 sampai 3 inci. Itu pun hanya 50.000 ekor per bulan. Malah beberapa bulan terakhir, yang terjual hanya sekitar 10.000 ekor per bulan. Harga benih pun turun hampir 50%. Kalau 2 tahun lalu benih ukuran 2 inci masih Rp300/ekor, saat ini dengan nilai yang sama sudah mendapatkan benih ukuran 3 inci. Benih ukuran 2 inci kini hanya berharga Rp 160 sampai Rp180/ekor.

Sejak marak dikembangkan pada 1997 sampai 1999, patin hanya menjadi komoditas sambilan bagi para peternak di Cirata. “Hanya 4 sampai 5% dari sekitar 25.000 unit jaring di Cirata yang diisi patin,” ungkap Pepen. Meski begitu tak kurang dari 2 sampai 3 ton patin dapat dipanen dari jaring-jaring peternak di sana setiap hari.

Sayangnya, masa kejayaan itu cuma sesaat. Malah dari tahun ke tahun cenderung menurun. Akibatnya, sejak 2 tahun lalu, produksi Pangasius sutji di danau buatan yang dibangun pada 1986 itu tak lebih dari 500 kg per hari. Bahkan saat Kami berkunjung pertengahan April, hampir tak ada lagi jaring peternak yang berisi ikan bedaging putih itu.

Lihat saja, walau beijam-jam mengitari seantero wilayah perairan itu Kami hanya berhasil menemukan 1 peternak yang masih mengembangkan. Dari 12 petak jaring, hanya 2 yang diisi patin. Sebelumnya H. Kudus, pemilik jaring, sempat mengisi 6 petak. Namun, “Karena sepi permintaan, pemilik tak mengisinya lagi,” papar seorang penjaga jaring. Patin yang tersisa pun belum dipanen meski sudah berumur 1 tahun. Biasanya panen dilakukan pada umur 6 sampai 8 bulan.

Harga turun


[caption id="attachment_4943" align="aligncenter" width="1511"] Hampir tak ada lagi patin di Cirata[/caption]

Selain kurang permintaan, harga jual patin kurang menguntungkan. “Beberapa bulan terakhir bakul hanya mau mengambil dengan harga Rp4.500 sampai Rp5.000 per kg,” keluhnya. Padahal, harga pakan terus meningkat. Karena itulah H. Kudus terpaksa menahan patin dijaring menunggu harga baik.

Rendahnya harga membuat banyak peternak meninggalkan patin. Pasalnya, pertumbuhan patin relatif lambat. Untuk mencapai bobot yang diminta pasar, di atas 1,2 kg/ekor, peternak harus menunggu hingga 1 sampai 1,5 tahun. Peternak tetap rugi dengan harga jual Rp4.500, meskipun sudah di atas titik impas. Menurut Pepen, biaya pembesaran patin sekitar Rp3.700/kg. Namun, “Keuntungan Rp800/kg hanya habis untuk menggaji penjaga selama 1 sampai 1,5 tahun saja,” lanjut Pepen.

Pepen sempat mengembangkan jambal siam itu di 21 petak jaring berukuran 7 m x 7 m dan menghasilkan 25 ton selama 1,5 bulan panen. Namun, karena harga terus turun, pembesaran patin terpaksa dihentikan.

Di Waduk Saguling, Cililin, Bandung, kondisinya juga sama. “Bisnis patin bukan lagi bisnis menarik,” papar Maman, peternak patin di Saguling. Menurutnya, dengan harga jual hanya Rp5.000/kg, petani hampir tak memperoleh untung. Sebab, umur panen lebih dari 1 tahun. Ia memang bisa dipanen 8 sampai 9 bulan, tapi bobotnya baru mencapai 800 g. Konsekuensinya, harga jual lebih rendah, hanya Rp4.500 sampai Rp4.700/kg. Padahal, harga pakan terus meningkat.

Pangsa Pasar Yang terbatas


Turunnya harga patin juga diakui Awud, staf U D Sari Dagang, pemasok patin di Desa Rancapanggung, Cililin. Bandung. Menurutnya, 2 tahun silam harga patin masih Rp6.000/kg di tingkat petani. Kini, Sari Dagang hanya berani membeli Rp5.000 per kg. Sebab, harga jual perusahaan saat ini hanya Rp6.400/kg. “Malah, kemungkinan harga akan turun lagi hingga Rp6.200/kg karena pasar lesu,” keluh Awud.

Daya serap pasar patin sangat dipengaruhi oleh kehadiran ikan-ikan lain. “Saat pasar dibanjiri ikan laut atau ikan tawar lain, konsumen pasti memilih yang lain,” tutur Awud. Alasannya, masyarakat umum banyak yang tak tahu cara memasaknya sehingga hanya diserap rumah makan dan restoran khusus patin.

Pelanggan Sari Dagang kebanyakan rumah makan, restoran, dan industri pengolahan di Jabotabek dan Bandung. Ketika beberapa rumah makan dan industri menutup usahanya, penjualan Sari Dagang pun menurun.

Contohnya saat ini, “Penjualan kami menurun dalam sebulan terakhir. Kalau semula permintaan pasar mencapai 3 ton/ hari, kini hanya 1 sampai 2 ton,” ucap Awud. Penyebabnya, salah satu pelanggan mengurangi permintaan dari 3 sampai 4 ton menjadi 1 ton/minggu. Padahal, dari 120 petak jaring milik petani binaan di Waduk Saguling dapat dipanen 4 ton patin per hari.

Celakanya, patin menjadi satu-satunya jenis ikan konsumsi yang paling cocok dikembangkan di Saguling. Petani tak punya pilihan ikan lain selain patin. “Kalau saja Saguling bisa ditanami mas atau nila, mungkin petani akan memilih mengembangkan kedua ikan konsumsi itu,” keluhnya.

Ada harapan


Kalau petani di Cirata dan Saguling mulai meninggalkan patin, tidak demikian dengan PT Sampun di Lampung. Perusahaan perikanan itu malah mengubah 31 kolam ikan mas di lahan 2 ha menjadi kolam pembesaran patin. “Dibanding mas, budidaya patin lebih menguntungkan,” papar Yuni dari PT Sampun. Alasannya, pemasaran karper di Lampung tak sebaik di Jawa.

Di Lampung pemasaran patin cukup baik. Dengan 31 kolam yang dimiliki, PT Sampun hanya mampu memenuhi 70% permintaan. Padahal, 1 kolam menghasilkan 5 sampai 6 ton ikan berbobot 1 kg pada umur 7 bulan. Harga jual di pasaran pun lumayan tinggi, Rp7.250 sampai Rp7.500 per kg.

Dr Odang Carman, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB juga melihat pasar patin cukup menjanjikan. Pengalamannya, memasarkan fillet patin produksi fakultas itu mudah. Malah, “Permintaan fillet patin dari salah satu industri pembuatan sosis, bakso, dan burger nyatanya terus meningkat,” papar Odang.

Ketika diperkenalkan patin sebagai bahan baku makanan olahan pada Februari 2002, Kemfood, mitra kerja fakultas itu, hanya meminta 20 kg fillet patin per minggu. Selanjutnya terus meningkat hingga mencapai 2 ton fillet setiap minggu sejak akhir tahun. Malah menurut Odang, permintaan Kemfood sebenarnya 4 ton/minggu. Hanya saja lantaran produksi sedikit, hanya 2 ton yang terealisasi.

“Untuk memproduksi 2 ton fillet, kebutuhan kami mencapai 4,5 ton patin segar per minggu,” ujar doktor dari Tokyo University of Fisheries itu. Bahan baku sebanyak itu harus dipasok dari beberapa peternak. Selain dari peternak di Saguling dan Cirata, ia juga mendapatkan pasokan dari Sukabumi dan Bogor.

Odang memang mengakui menurunkan order ke salah satu pemasok asal Saguling. Namun, penurunan itu bukan lantaran permintaan pelanggan turun. “Kualitas ikan yang dipasok dari Saguling menurun dalam beberapa bulan terakhir,” ungkapnya. Kalau biasanya dari pasokan 1 ton dapat menjadi 500 kg fillet, kini hanya dihasilkan 300 sampai 400 kg. Ikan banyak yang mati sebelum sempat diolah.

Patin juga berpotensi diserap pasar baru seperti tempat-tempat pemancingan. Contohnya di Padalarang, Bandung, pengelola kolam pemancingan Ratu Mas Jaya kini melirik patin sebagai obyek pemancingan. “Tanggapan pelanggan cukup baik,” aku Eddy Somantri dari Ratu Mas Jaya. Dalam sebulan terakhir sudah 4 ton patin yang dimasukkan Eddy ke kolam pancing.

Peningkatan penjualan


[caption id="attachment_4946" align="aligncenter" width="1511"] Restoran dengan menu patin makin tersebar[/caption]

Heru Soekardi, pemilik Pondok Ikan Patin, juga merasakan peningkatan penjualan. Ketika pertama kali membuka rumah makan khusus patin, Heru hanya mengelola 1 outlet. Kini, “Pondok Ikan Patin dibuka di mana-mana,” ungkapnya. Malah, karena perkembangannya pesat, sejak 1998 beberapa investor tertarik bekerjasama mengelola rumah makan dengan sistem waralaba. Saat ini terdapat 34 outlet Pondok Ikan Patin, 22 cabang di antaranya dikelola sendiri oleh Heru. Sisanya, dikelola dengan sistem waralaba.

Kebutuhan 34 cabang rumah makan itu sekitar 350 sampai 400 kg/hari. “Satu outlet butuh 10 sampai 15 kg/ hari,” paparnya. Untuk memenuhi kebutuhan 22 outlet yang dikelola sendiri, 250 sampai 270 kg/ hari, ia memegang 3 pemasok.

Selain rumah makan, pengusaha galangan kapal itu tengah melirik pasar lain. “Ada permintaan fillet patin dari relasi di Belgia dan Bali setelah saya memperkenalkan produk itu,” ungkap Heru. Permintaannya tak tanggung-tanggung, tak kurang dari 5 ton/hari dari Belgia, dan 2 ton/hari dari Bali.

Menanggapi permintaan itu, Heru saat ini mulai membina petani di Jawa Tengah. Ia melirik Waduk Gajahmungkur, Wonogiri, sebagai lokasi budidaya. Maklum, untuk memenuhi permintaan itu butuh tak kurang dari 15 ton bahan baku per hari. Berarti, tak kurang dari 1.400 unit jaring apung diperlukan. Tak ada masalah karena harga jual cukup tinggi. Ke pasar Belgia mencapai US$7 per kg; Bali, Rp27.000 per kg. Nilai jual yang cukup menggiurkan.

Posting Komentar