April mendatang ketika panen raya bawang merah tiba, Ngatini mesti bangun lebih pagi. Dengan mengendarai sepeda motor perempuan paruh baya itu bakal berkeliling Bantul, Yogyakarta, untuk memborong bawang merah produksi pekebun.
Yang sudah-sudah ibu 3 anak itu mampu menyerap 6 ton per hari. Wanita berpenampilan sederhana itu mengutip Rp250 per kg, sehingga laba bersih yang diraup Rp1.500.000 per hari.
Dengan mudah umbi bawang merah itu dipasarkan ke Jakarta, Kendal, Purwokerto, dan Semarang. Harga jual terakhir pada Februari Rp4.250 per kg; harga pembelian Rp3.500. Pedagang itu mesti mengeluarkan biaya sewa truk, karung, dan tenaga kerja untuk menurunkan dan menaikkan bawang merah.
Total jenderal biaya sekali pengiriman 6 ton mencapai Rp 1.250.000. Laba bersih yang ditangguk Rp1,5-juta Nilai yang cukup besar bagi Ngatini yang hidup nun di Bantul.
Umbi asal Iran itu setahun belakangan memang gampang dipasarkan. Khamdan, direktur CV Anak Bawang, menduga lantaran penurunan impor produk sejenis. Maklum, biasanya bawang impor yang dijual lebih murah menjadi pesaing bawang lokal.
Namun, ketika harga bawang merah di Filipina dan Cina melonjak 2 kali lipat, banyak importir berhenti. Contoh, Suharto Sulaiman, yang biasanya mendatangkan 40 sampai 50 ton per bulan.
Dampaknya, Allium cepa itu tak membanjiri pasar, sehingga harga relatif stabil pada kisaran Rp3.000 sampai Rp4.000 per kg. Badan Pusat Statistik mencatat penurunan volume impor 3 tahun terakhir. Pada 2002 (data hingga September) hanya 30.229 ton senilai US$8.304.300. Volume impor sebelumnya 47.946 ton (US$12.475.026). Padahal pada 2000 tercatat volume 56.710 ton senilai US$12.913.803.
[caption id="attachment_6489" align="aligncenter" width="1511"]
Berburu mencari bawang merah[/caption]
Berkah penurunan impor juga dirasakan para pekebun. Mereka tidak perlu bersusah-payah memasarkan lantaran pengepul langsung menghampiri. “Kadang belum waktunya panen sudah ditebas,” ujar H. Darma Yusuf, pekebun bawang merah di Babakanlosari, Cirebon. Padahal lahan yang dikelola Darma relatif luas, yakni 30 ha dengan produksi 500 ton.
Selain untuk eksportir, ia juga memasarkan anggota famili Alliaceae itu ke Pasar Induk Kramatjati. Darma mendapat harga Rp3.500 per kg dari penjualan pasar lokal; ekspor, Rp5.500 per kg. Sedangkan modal yang dibenamkan Rp40-juta per ha.
Tidak melulu pemilik lahan luas yang menikmati laba dari bawang merah. Sumamo yang menanam kerabat lili itu di lahan 1.400 m2 menuai 3,5 ton dalam waktu 4 bulan. Pengepul memborong dengan harga Rp3.500 per kg. Dengan biaya produksi Rp2.000 per kg, ayah 3 anak itu mengantungi Rp5.250.000.
Setahun terakhir harga bawang merah memang stabil pada kisaran Rp3.000 sampai 3.500 per kg. Padahal, biasanya harga bergejolak naik-turun antara Rp2.000 sampai 3.000 per kg. Bahkan, pada 1996 harga cuma Rp 1.500 per kg.
Biaya produksi untuk menghasilkan sekilo bawang merah saat ini Rp2.000. Selain serapan pasar lokal, pasar ekspor juga kian terbentang. PT Gloria Enterprise misalnya, rutin mengekspor 10.000 ton per tahun ke Malaysia dan Singapura.
Standar kualitas yang diharapkan berdiameter lebih dari 3 sampai 4 cm dan bersih dari gerekan hama. Bawang kualitas ekspor itu dibeli Gloria Rp6.000 per kg. Harga tinggi Rp7.000 per kg pada awal panen ketika pasokan belum melimpah. Menurut Kepala Ekspor-Impor Gloria, Tuty Sugiarty, volume ekpsor per tahun mencapai 10.000 ton. Dari angka itu 70% merupakan varietas ilocos, 25% varietas tandayung, dan sisanya bangkok.
Ketiga varietas itu dipilih lantaran tahan pengangkutan. Sebab, perjalanan ke negara tujuan ekspor mencapai 5 hari. Pengalaman sebelumnya, 1 kontainer varietas bima yang diekspor membusuk setelah tiba di Singapura.
Walau tak memenuhi standar mutu ekspor, Gloria tetap menerima pasokan pekebun untuk mengisi pasar lokal. Perusahaan itu membeli Rp3.000 per kg. Bawang-bawang itu untuk memenuhi 50 sampai 60 ton per bulan permintaan PT Indofood Sukses Makmur.
Meski membudidayakan sendiri seluas 30 sampai 60 ha, Gloria Enterprise tetap bermitra dengan puluhan pekebun di Cirebon. Oleh karena itu Gloria juga mengimpor ke-3 varietas untuk dijadikan bibit pada Februari sampai Juni. Bawang untuk bibit berdiameter kurang dari 3 cm dijual Rp7.500 per kg. Perusahaan itu menetapkan kuota pembelian minimal 1 ton Kebutuhan bibit per ha mencapai 1,5 ton.
Menurut Suroto, penyedia bibit varietas lokal di Yogyakarta, menjual bibit lebih menguntungkan. “Jika mau untung tinggi, risiko kecil lebih baik jadi pembibit,” ujar Suroto. Biaya produksi relatif sama, tetapi harga cenderung stabil.
Menjelang musim tanam harga melambung Rp 10.000 sampai 12.000 per kg biasanya Rp8.000. Setiap pekan ayah 2 anak itu mampu memasarkan 2 ton bibit. Ketika harga jual bawang menukik menyebabkan gairah pekebun menanam juga menurun. Pada saat itu bawang disimpan di gudang. Bibit bertahan 6 bulan.
Yang sudah-sudah ibu 3 anak itu mampu menyerap 6 ton per hari. Wanita berpenampilan sederhana itu mengutip Rp250 per kg, sehingga laba bersih yang diraup Rp1.500.000 per hari.
Dengan mudah umbi bawang merah itu dipasarkan ke Jakarta, Kendal, Purwokerto, dan Semarang. Harga jual terakhir pada Februari Rp4.250 per kg; harga pembelian Rp3.500. Pedagang itu mesti mengeluarkan biaya sewa truk, karung, dan tenaga kerja untuk menurunkan dan menaikkan bawang merah.
Total jenderal biaya sekali pengiriman 6 ton mencapai Rp 1.250.000. Laba bersih yang ditangguk Rp1,5-juta Nilai yang cukup besar bagi Ngatini yang hidup nun di Bantul.
Umbi asal Iran itu setahun belakangan memang gampang dipasarkan. Khamdan, direktur CV Anak Bawang, menduga lantaran penurunan impor produk sejenis. Maklum, biasanya bawang impor yang dijual lebih murah menjadi pesaing bawang lokal.
Namun, ketika harga bawang merah di Filipina dan Cina melonjak 2 kali lipat, banyak importir berhenti. Contoh, Suharto Sulaiman, yang biasanya mendatangkan 40 sampai 50 ton per bulan.
Dampaknya, Allium cepa itu tak membanjiri pasar, sehingga harga relatif stabil pada kisaran Rp3.000 sampai Rp4.000 per kg. Badan Pusat Statistik mencatat penurunan volume impor 3 tahun terakhir. Pada 2002 (data hingga September) hanya 30.229 ton senilai US$8.304.300. Volume impor sebelumnya 47.946 ton (US$12.475.026). Padahal pada 2000 tercatat volume 56.710 ton senilai US$12.913.803.
Supply Yang Stabil
[caption id="attachment_6489" align="aligncenter" width="1511"]

Berkah penurunan impor juga dirasakan para pekebun. Mereka tidak perlu bersusah-payah memasarkan lantaran pengepul langsung menghampiri. “Kadang belum waktunya panen sudah ditebas,” ujar H. Darma Yusuf, pekebun bawang merah di Babakanlosari, Cirebon. Padahal lahan yang dikelola Darma relatif luas, yakni 30 ha dengan produksi 500 ton.
Selain untuk eksportir, ia juga memasarkan anggota famili Alliaceae itu ke Pasar Induk Kramatjati. Darma mendapat harga Rp3.500 per kg dari penjualan pasar lokal; ekspor, Rp5.500 per kg. Sedangkan modal yang dibenamkan Rp40-juta per ha.
Tidak melulu pemilik lahan luas yang menikmati laba dari bawang merah. Sumamo yang menanam kerabat lili itu di lahan 1.400 m2 menuai 3,5 ton dalam waktu 4 bulan. Pengepul memborong dengan harga Rp3.500 per kg. Dengan biaya produksi Rp2.000 per kg, ayah 3 anak itu mengantungi Rp5.250.000.
Setahun terakhir harga bawang merah memang stabil pada kisaran Rp3.000 sampai 3.500 per kg. Padahal, biasanya harga bergejolak naik-turun antara Rp2.000 sampai 3.000 per kg. Bahkan, pada 1996 harga cuma Rp 1.500 per kg.
Biaya produksi untuk menghasilkan sekilo bawang merah saat ini Rp2.000. Selain serapan pasar lokal, pasar ekspor juga kian terbentang. PT Gloria Enterprise misalnya, rutin mengekspor 10.000 ton per tahun ke Malaysia dan Singapura.
Tiga varietas

Ketiga varietas itu dipilih lantaran tahan pengangkutan. Sebab, perjalanan ke negara tujuan ekspor mencapai 5 hari. Pengalaman sebelumnya, 1 kontainer varietas bima yang diekspor membusuk setelah tiba di Singapura.
Walau tak memenuhi standar mutu ekspor, Gloria tetap menerima pasokan pekebun untuk mengisi pasar lokal. Perusahaan itu membeli Rp3.000 per kg. Bawang-bawang itu untuk memenuhi 50 sampai 60 ton per bulan permintaan PT Indofood Sukses Makmur.
Meski membudidayakan sendiri seluas 30 sampai 60 ha, Gloria Enterprise tetap bermitra dengan puluhan pekebun di Cirebon. Oleh karena itu Gloria juga mengimpor ke-3 varietas untuk dijadikan bibit pada Februari sampai Juni. Bawang untuk bibit berdiameter kurang dari 3 cm dijual Rp7.500 per kg. Perusahaan itu menetapkan kuota pembelian minimal 1 ton Kebutuhan bibit per ha mencapai 1,5 ton.
Menurut Suroto, penyedia bibit varietas lokal di Yogyakarta, menjual bibit lebih menguntungkan. “Jika mau untung tinggi, risiko kecil lebih baik jadi pembibit,” ujar Suroto. Biaya produksi relatif sama, tetapi harga cenderung stabil.
Menjelang musim tanam harga melambung Rp 10.000 sampai 12.000 per kg biasanya Rp8.000. Setiap pekan ayah 2 anak itu mampu memasarkan 2 ton bibit. Ketika harga jual bawang menukik menyebabkan gairah pekebun menanam juga menurun. Pada saat itu bawang disimpan di gudang. Bibit bertahan 6 bulan.