Periode September sampai Januari pasti selalu dinanti-nanti para maniak durian di seputaran Jakarta. Maklum saat itulah durian asal Sumatera turun gunung ke lapak-lapak pedagang di kakilima. Sudah jadi rahasia umum raja buah asal pulau itu enak-enak dan murah. Kehadirannya meramaikan pasokan asal sentra-sentra di Pulau Jawa.
Toh, meski bukan musim raya Kami sempat menikmati kelezatan si Durio zibethinus kala berkunjung ke sentra di Kecamatan Lembah melintang, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, pertengahan Juni. "Ini namanya buah sale," kata Ali Usman, pengepul yang baru memborong 2 keranjang durian dari Dusun Situak. Maksudnya, itu raja buah yang dipanen di luar musim raya. Jumlahnya pun terbatas.
Buah antara bukan berarti kualitasnya jelek. Setapak, belimbing, dan jantung yang Kami cicipi bersama keluarga Adwirman enak-enak semua. Setapak langsung menyedot perhatian karena beraroma paling tajam.
Penampilannya cukup menarik: bulat, berkulit hijau muda dengan duri lancip. Rasa kecewa sempat terbersit waktu melihat daging yang kuning pucat. Namun, begitu dicicipi rasa manis legit tanpa rasa pahit langsung menggoyang lidah. Apalagi daging buah tebal, lembut, nyaris tidak berserat, dan agak berminyak.
Sampai Jakarta
Jantung dan belimbing tak kalah menggugah selera. Daging jantung yang kuning menggiurkan tak berdusta. Rasanya manis dan lembut di lidah. Sayang, aroma durian berkulit keunguan di ujung-ujung duri itu kurang kuat. Bijinya pun cukup besar.
Lain lagi dengan buah duri berjuluk belimbing. Ia paling mudah dibedakan karena bentuknya memang seperti buah bintang. Kulit kuning menarik seperti warna daging. Soal rasa sama legitnya. Tak terasa 14 buah ludes dilahap.
Dengan keistimewaan itu ketiganya memang raja buah jempolan dari Pasaman. Para mania kerap berburu sendiri ke sentra di Dusun Situak dan Lubukgadang. Pohon-pohon warisan nenek moyang berusia puluhan tahun jadi incaran. Durian tumbuh menyebar di pekarangan hingga hutan di seputaran pemukiman penduduk.
Di sentra, penikmat buah berbau menyengat mesti bersaing dengan pengepul seperti Ali Usman untuk mendapatkan buah matang pohon. Siang itu pria berkumis itu cuma mendapatkan 300 buah. Maklum waktu itu memang bukan saat panen raya.
Durian hasil buruan dikumpulkan di kediaman di Dusun Lombok. Lalu dibersihkan, yang jelek dipisahkan. Itu untuk persiapan berjualan di Pasar Ujung Gading atau Pasar Simpang Empat yang lebih ramai. Akan tetapi kalau ada yang membeli eceran di rumah seperti yang Kami lakukan juga dilayani. Lantaran musim paceklik, harga mencapai Rp6.000 sampai Rp7.000 per buah berbobot 2 sampai 3 kg.
Memasuki Oktober sampai November pasokan tumpah-ruah. Wajar jika harga merosot hingga di bawah Rp3.000 di tingkat eceran. Saat itulah durian dipasarkan hingga ke Jawa. Setiap minggu Ali Usman sanggup membawa 1 fuso setara 7 ton ke Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Dari sana baru disebar ke pedagang kakilima. Sampai pedagang eceran itu harga menjulang hingga Rp 15.000 sampai Rp20.000 per buah. Itu terus berlangsung hingga awal tahun berikutnya.
Terbesar ke-2
[caption id="attachment_5904" align="aligncenter" width="915"]

Bukan tanpa alasan Ali Usman sanggup mengirim dalam volume besar. Kabupaten Pasaman memang sentra durian kedua terbesar di Sumatera Barat setelah Solok. Menurut data dalam laporan tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Provinsi Sumatera Barat populasi tanaman di Pasaman mencapai 93.171 pohon; Solok, 159.498 pohon.
Kabupaten lain rata-rata di bawah 500 pohon. Dari luas panen 381 ha pada 2001, didapat 4.571,25 ton durian dari seluruh wilayah Pasaman. Sampai pertengahan 2002, luas panen 249 ha dengan produksi 4.304, 83 ton. Sebagian besar masuk ke Jawa.
Memang yang dikirim tak melulu durian jempolan yang sudah punya nama. Pun bukan buah matang pohon, tapi hasil petikan. Toh, rasa masih memanjakan lidah. Lantaran jenis sudah bercampur, label yang disematkan cuma durian sumatera. Bila beruntung Anda bisa menemukan setapak, belimbing, dan jantung di lapak kakilima langganan.
Tebalnya daging bersaing dengan monthong meski warna tak kuning benderang. Rasa manis, legit, dan agak kering menggigit lidah. Itulah dia sari kampih, si hepe asal Batusangkar.
Cukup memakan sebuah dijamin kenyang. Gara-gara berbiji kempes, porsi daging buah yang bisa dimakan jadi besar dibanding durian lain, mencapai 30%. Artinya, bila yang dibelah ialah buah bobot 3 kg, daging termakan hampir 1 kg.
Aroma durian berbentuk bulat sampai bulat lonjong itu pun memikat. Kulit berwarna hijau kekuningan dan tebal punya sifat tak mudah pecah dan agak sulit dikupas. Makanya ia cocok dibawa untuk perjalanan jauh. Dengan sederet keistimewaan itu tak berlebihan bila raja buah di kediaman Syamsul Bahri jadi incaran penikmat durian.
Biji mahal
Harta terpendam itu tepatnya ada di Desa Balai Gadang, Kecamatan Sungayang Batusangkar, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat. Lokasi pohon cuma 12 km dari Istana Pagaruyung peninggalan Kerajaan Mulawarman.
Saat ini buah dipanen dari satu-satunya pohon tua milik Syamsul Bahri yang guru sekolah dasar. Umur tanaman diperkirakan lebih dari 75 tahun. Sosok uzur kelihatan dari tinggi yang menjulang hingga 30 m dan batang yang 2 pelukan orang dewasa. Lantaran sudah berumur pula produksi menurun, hanya 50 sampai 200 buah per tahun.
Nama sari kampih disematkan pada durian itu pascaeksplorasi tim Balai Penelitian Tanaman Buah Solok. Sari merupakan akronim nama Syamsul Bahri, kampih berarti kempes dalam bahasa setempat. Beberapa orang mengenalnya sebagai durian muspida karena pembelinya kebanyakan dari kalangan pejabat pemerintahan.
Nah, rupanya biji muspida tak kalah mendapat perlakuan istimewa. Sang pemilik pohon berani membayar mahal biji sempurna pada setiap buah yang dibeli konsumen. Maklum perbanyakan tanaman memang masih mengandalkan biji. Perbanyakan dengan teknik okulasi terancam gagal karena sulit mengambil entres ideal dari pohon nan tinggi.