Hujan Emas di Ladang Sanseviera

Grace Setiadharma tak tanggung-tanggung menanam sanseviera. Di Kawasan Kota Bunga Cipanas, direktur PT Hujanmas Florestika Kencana itu membuka kebun seluas 8 ha. Dari kebun terluas di Indonesia itu ia menuai 30.000 tanaman/bulan. Lidah mertua yang biasanya menganggur di pekarangan, diekspor ke Jepang dan mengisi pundi-pundi Rp300-juta setahun.

Mulanya direktur PT Hujanmas Florestika Kencana itu kesulitan mendapatkan sanseviera. Permintaan ekpor ke Jepang mencapai 30.000 batang/bulan. Kebetulan sekali di Cipanas ada lahan tidur milik seorang mantan pejabat negara. Kesempatan itu tak disia-siakan.

Berkerja sama dengan petani setempat, lahan itu ditanaminya Sansevieria trifasciata varieties laurentii. Sekitar 4.000 guludan masing-masing berukuran 3 m X 0.5 m berjejer rapi. Setiap guludan dipenuhi oleh 50 tanaman.

Dari populasi 200.000, 30.000 sampai 40.000 tanaman setiap bulan dipanen. Jika produksi setahun mencapai 250.000, diperkirakan Grace mengantungi Rp300-juta. Permintaan tertinggi sekitar Maret Agustus.

Pada saat itu musim dingin di Jepang telah berlalu. Permintaan pun meningkat hingga 40.000 batang/bulan. Hingga September permintaan masih baik dan mulai berkurang pada Oktober. Di bulan itu, negeri Sakura berselimut salju.

Sejak 2001


[caption id="attachment_5797" align="aligncenter" width="1450"] Manfaatkan lahan telantar[/caption]

Di negeri Matahari Terbit toranoshippo sebutan populer di Jepang amat digemari. Sosoknya unik dan menarik. Perpaduan warna kuning dan hijau terlihat kontras dan cocok dengan simbol negara itu. Snake plant itu semakin ngetop karena kemampuannya menyerap racun.

Apalagi sudah dibuktikan oleh NASA Badan Penerbangan Antariksa Amerika Serikat dan seorang profesor di Jepang. Tak heran negara itu memburunya sampai ke Indonesia.

Awal 2001 permintaan 30.000 batang itu diterima Grace. Mulanya wanita kelahiran 2 Desember 1953 itu sempat bingung. Sebab, tak mudah mencari si lidah mertua itu. Ia tidak tahu tempat berburu untuk mendapat barang sebanyak itu. Padahal, ia sudah lama berkecimpung di dunia pertamanan.

Saat itu memang belum ada orang yang mengebunkannya dalam skala luas. Akibatnya ia harus berburu langsung ke petani hingga ke luar kota. Bersama kedua rekannya, Anna Sylvana dan Lies April, mereka berburu ke Lampung, Cirebon, dan Yogyakarta.

Namun, itu bukan perkara mudah. Sanseviera yang mereka peroleh hanya 70% yang bisa memenuhi standar. Sisanya tak lolos sortir. Yang dicari sanseviera mulus, panjang antara 45 sampai 75 cm, tidak mengandung tanah, dan daun utuh.

Peluang pasar yang besar mendorong Grace dan kawan-kawan mengebunkan sendiri. Ia memanfaatkan lahan tidur yang disulap menjadi kebun sanseviera. Meski begitu ia tetap membuka kesempatan bermitra dengan petani. Hingga kini ada 100 orang petani yang rutin memasok. Mereka berasal dari Sukabumi, Cianjur, Cirebon, dan Yogyakarta. Pasokan mereka berkisar 5.000 sampai 10.000 batang/bulan.

Selain di Cipanas, Grace juga membuka kebun di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang. Di sana ditanam sekitar 45 jenis sanseviera lain dalam skala kecil. Seperti S', laurentii silver, green giant, S. hahnii golden, S. hahnii golden king, S. hahnii silver, dan S. hahnii green, serta beberapa jenis sanseviera mutasi. Jenis-jenis itu memang yang diminta pasar.

Laurentii tetap menjadi idola pasar. Komposisi warna yang kontras dan menarik diduga menjadi penyebabnya. Sangat rentan terhadap air dan baru bisa panen umur 1 tahun,”. Menurut direktur pemasaran PT Hujanmas Florestika Kencana itu, harga lokal justru lebih bagus. Karena itu untuk jenis lain mereka hanya mengebunkan dalam skala kecil.

Kualitas


[caption id="attachment_5798" align="aligncenter" width="1204"] Grace dan Anna, mengincar Amerika dan Timur Tengah[/caption]

Dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Taiwan, dan Kosta Rika, kualitas lidah mertua dari Indonesia paling bagus. ’’Budidaya sih hal yang mudah. Tanaman ini termasuk bandel sehingga tak perlu perawatan rumit. Namun, saat panen, harus benar-benar selektif memilih tanaman. Karena Jepang sangat ketat terhadap standar kualitas,” ujar alumnus Universitas Trisakti itu.

Untuk menjaga kualitas dilakukan penanganan spesial. Meliputi sortasi, pencucian daun, pengeringan, penyemprotan pestisida, pengelapan, dan pengemasan

Selama 2 tahun pengiriman, Grace dan kawan-kawan pernah sekali mengalami kegagalan. Mei tahun lalu, produk kiriman mereka sempat hancur. “Waktu itu udara sangat panas, sedangkan permintaan tinggi. Akibatnya barang menumpuk dan luput dari pengawasan. Meski saat dikirim barang tampak baik, sampai di sana membusuk dan menjadi bubur,” ujar Grace.

Grace tak ingin kejadian itu terulang lagi. Maka kini pengawasan pascapanen semakin diperketat. Tak segan ia
menyingsingkan lengan baju dan terlibat mulai dari pemilihan tanaman di lahan sampai pengemasan.

Tanaman dipilih minimal mempunyai 3 daun dan maksimal 5 daun. Penampilan harus mulus, tanpa tanah, dan daun utuh. Tanaman yang telah dicabut dari lahan harus diletakkan di tempat ternaungi.

Proses setelah itu lebih rumit lagi. Seminggu sebelum pengiriman masa super sibuk. Satu sampai dua hari menjelang keberangkatan, “Jangan harap bisa tidur, karena pengerjaannya bisa sampai jam 3 dini hari,” tutur Grace. Padahal ada 14 karyawan yang dipekeijakan.

Dalam satu hari hanya 2.000 tanaman yang selesai disortir. Sedangkan untuk pengiriman mencapai 10.000 batang/minggu. Berarti selama 5 hari tenaga benar-benar terkuras.

Pekerjaan itu meliputi pencucian tanaman yang terpilih. Kemudian untuk mencegah kutu lolos dari pantauan, tanaman direndam dilarutan pestisida 1,5 jam, lalu dikeringanginkan. Setelah itu baru masuk ke ruang isolasi. Di sana si lidah mertua disortir kembali. Di situlah terakhir seleksi.

Bukan hanya capai, tapi tangan mereka harus tahan siksaan si lidah mertua. Getah anggota famili Liliaceae itu sangat tajam. Sehingga tangan gatal dan kudisan tak bisa dihindarkan. Oleh karena itu makanan dan suplemen bagi karyawan amat diperhatikan.

Penggunaan pestisida dikhawatirkan membahayakan kesehatan pekerja. Namun, bagi Grace dan rekan-rekan itu risiko dari keberhasilan mereka. “Hingga kini setiap kali pengiriman 99% pasti lolos, padahal dari negara lain bisa 50 sampai 70% yang tak lolos,” ujar wanita yang hobi makan sayuran itu.

Peluang besar


Untuk sementara pengiriman ke Jepang dihentikan. Itu lantaran masalah harga. Biaya produksi kian membengkak
sementara pihak Jepang bertahan dengan harga semula. Karena itu Grace melakukan negosiasi harga.

Lima bulan terakhir ini Jepang meminta pengiriman melalui laut. Mereka memberi harga sekitar 60 yen atau setara dengan Rp4.200/batang. “Padahal karantina naik sampai 100%, bahan kemasan, transportasi, dan gaji pegawai pun ikut naik,” tutur Anna Sylvana.

Sambil menunggu hasil negosiasi itu, Anna dan Grace tak tinggal diam. Ia mulai mencari pasar. Ternyata tak hanya Jepang yang mengincar lidah mertua. Korea dan Belanda pun kerap memburu. Namun, kedua negara itu lebih senang mencari sendiri. Langsung mengambil ke petani dan memproses sendiri. Amerika Serikat si lidah mertua banyak dijadikan hiasan.

Di negeri Paman Sam itu ia dijual USS 50/pot. Itu artinya si Jepang mengirimkan ke Amerika,” ujar Anna. Pasar Amerika mulai di incar. Di sana harga jauh lebih tinggi. Permintaan pun bisa mencapai 10.000 batang /bulan. Selain Amerika dan Eropa, Timur Tengah pun tak luput dari incaran, terutama Dubai. Pasar di sana masih terbuka lebar. Volume permintaan tropical plant cukup tinggi. Grace tengah mencoba menembus pasar di sana.

Posting Komentar