Prospek Rumput Laut Seluas Laut

Dari total permintaan 2.000 ton hingga Juni, maksimal hanya 500 ton yang mampu dipenuhi CV Sumber Rejeki. Meski membina petani plasma, tetap saja eksportir di Manado itu kesulitan pasokan. Produksi memang belum mampu mengejar permintaan yang terus melambung. Padahal harganya pun makin membaik.

Matahari mulai condong di ufuk barat. Namun kesibukan di gudang CV Sumber Rejeki di Tuminting, Manado, masih berlangsung. “Minggu depan akan dilakukan pengiriman ke Eropa,” kata Marcel Julius Taher, direktur perusahaan.

Meski aktivitas pekerja masih tetap berjalan, 2 buah gudang berukuran 12 m x 60 m dan 28 m x 35 m milik perusahaan itu kini terasa longgar. Tak sampai separuh kapasitas gudang yang terisi. Dalam kondisi normal kedua gudang mampu menampung lebih dari 3.000 ton.

Kurang pasokan


Dua tahun terakhir CV Sumber Rejeki memang kesulitan mendapatkan pasokan rumput laut. Terutama jenis Eucheuma cottonii yang banyak diminta pasar. Setiap bulan eksportir rumput laut terbesar di Manado itu hams memasok masing-masing 2 sampai 3 kontainer ke Denmark dan Perancis. Setiap kontainer memuat 20 ton. Belum lagi permintaan importir lain dari Hongkong, Spanyol, dan Filipina. “Saya ragu bisa memenuhinya sampai akhir tahun,” ujarnya.

Tak hanya Marcel yang merasakan kesulitan itu. PT Batara Laut Celebes di Makassar juga mengalami kelangkaan pasokan. Kalau sebelumnya mudah memperoleh pasokan 5.000 ton/tahun, “Kini untuk memperoleh 30%-nya saja susah,” ungkap HM Safari Azis, direktur.

Pelaku bisnis rumput laut di Bali juga tak luput dari kondisi itu. Kami kesulitan mendapatkan rumput laut,” papar Teddy Handoyo, direktur CV Sumber Agung. Padahal, pasar Hongkong saja meminta pasokan minimal 20 ton kering per bulan. Satu kg kering berasal dari 10 kg basah. Artinya, Sumber Agung membutuhkan sekitar 200 ton basah. Haryadi Adnan, direktur CV Eucheuma juga kelimpungan memenuhi permintaan 100 ton/bulan.

Sentra rusak


Menurut Haryadi Adnan, mantan wakil ketua Asosiasi Pengusaha dan Budidaya Rumput Laut Indonesia (APBIRI), kelangkaan pasokan karena banyak tanaman di sentra produksi rusak. Produksi di Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, hingga Sulawesi Selatan, merosot.

Bali, misalnya, produksi saat ini hanya 5.000 ton dari sebelumnya 10.000 ton/ tahun. Malah, 70% produksi terbanyak justru Eucheuma spinosum yang pasarnya terbatas. Rumput laut cottonii yang permintaannya besar produksinya tinggal 1.500 ton/tahun saja.

Di Sulawesi Utara kondisinya juga setali tiga uang. Pada 2001 produksi hanya 556,772 ton kering. Tahun lalu produksi malah hanya 520,378 ton. “Dalam kondisi normal produksi mencapai 1.500 ton/tahun,” tutur Bambang Sularso, Kasubdin Bina Pembudidayaan Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Utara.

Bambang menilai ketersediaan bibit menjadi penyebab utama. Diakuinya, sejak pertama kali dimasukkan dari Filipina dan Bali pada akhir 1980-an, belum pernah dilakukan perbaikan varietas. Nyatanya setelah berkali-kali dipakai sebagai bibit, kualitas genetiknya pun menurun. Ini terlihat dari makin ringannya bobot rumput laut yang dipanen petani.

Saat ini setiap titik gantungan hanya dapat dipanen 600 sampai 700 g pada umur panen 1,5 bulan. Kerugian lain, ia makin rentan terhadap ice-ice penyakit kematian jaringan rumput laut akibat perubahan kualitas air. Lihat saja, hampir tak ada lokasi yang bebas serangan pada periode 2001 sampai 2002. Itu terjadi di Kecamatan Molas, Likupang, Tumpaan, dan Belang.

Ice-ice pula yang memporak-porandakan sentra rumput laut di Bali. “Kualitas lingkungan perairan di sekitar kawasan Nusapenida yang menjadi sentra produksi merosot, seiring meningkatnya aktivitas industri pariwisata dan rumah tangga di sana,” tutur Teddy. Kondisi makin diperparah oleh kondisi cuaca yang tidak menentu dalam tahun-tahun terakhir.

Harga "gila"


Kalau banyak kalangan nfelihat penurunan produksi terjadi karena masalah teknis budidaya di lapangan, tidak demikian dengan Safari Azis. Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) itu justru menganggap kelangkaan pasokan terjadi akibat ulah pemain baru pada tahun-tahun terakhir.

Celakanya, untuk mendapatkan pasokan dengan cepat dan mudah, mereka berani menaikkan harga beli di atas harga normal. Namun, hanya satu atau dua kali membeli rumput laut petani, sesudah itu mereka pun hengkang meninggalkan petani.

Akibatnya, “Banyak petani kecewa dan enggan mengembangkan lagi,” tutur Ketua Komisi Rumput Laut di Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) itu.

Menurutnya, pemain lama memang sulit membeli rumput laut petani di atas harga normal. Turunnya nilai dolar terhadap rupiah mempengaruhi daya beli eksportir ke petani. Apalagi sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan, eksportir makin terhimpit oleh banyaknya pungutan retribusi di daerah-daerah produksi.

Kualitas turun


Minimnya pasokan membuat posisi petani di atas angin. Lihat saja di Manado, harga jual di tingkat petani melonjak. Dari harga Rp2.500 sampai Rp2.600 per kg kering,naik menjadi Rp4.350 per kg. Hal serupa terjadi di Sulawesi Selatan dan Bali. Padahal, harga ekspor hanya US$560 sampai US$575 per ton kering dengan kadar air 40 sampai 45%. Harga jual lebih tinggi, mencapai US$590 sampai US$625 per ton jika kadar air hanya 35%.

Sayangnya meningkatnya harga tak diimbangi perbaikan kualitas. Mestinya umur panen 6 minggu, kini umur 4 minggu dipanen. Padahal, kandungan karaginan rumput laut muda masih rendah.

Menurut Safari Azis, banyak eksportir yang langsung ke lapangan membeli rumput laut petani. “Jangankan eksportir, importir asal Hongkong dan Cina pun kini banyak yang membeli langsung ke sini,” ungkap pebisnis rumput laut sejak 1986 itu. Eksportir hanya menyiapkan barang di gudang, importir yang mengirimnya. Karena itu harga jual dihitung berdasarkan free on board (FOB) setempat.

Permintaan meningkat


Wajar kalau banyak eksportir berebut barang. Menurut Boy Watuseke SH, Kasubdin Bina Usaha Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Utara, permintaan pasar cukup besar. Dari jumlah itu paling tinggi hanya 15 sampai 20% yang dapat dipenuhi.

Hal sama juga terjadi di Bali. Menurut Haryadi, dari permintaan cottonii 10.000 sampai 15.000 ton per tahun, saat ini hanya 1.500 ton bisa dipasok. Ekspansi eksportir dari Surabaya, Jakarta, dan Makassar ke pulau itu membuat eksportir lokal makin kewalahan.

Direktorat Jenderal Perikanan juga mencatat, permintaan ekspor rumput laut Indonesia mencapai 35.000 sampai 40.000 ton/ tahun. Namun, dalam kondisi normal pun volume ekspor hanya 26.000 ton. Hans Porche dari CP Kelco, perusahaan karaginan terbesar di dunia mengungkapkan, setiap tahun muncul aplikasi baru yang membuat permintaan dunia meningkat 5 sampai 6% per tahun.

Selain untuk pasar ekspor, kebutuhan dalam negeri juga tinggi. Setidaknya 30 industri pengolahan rumput laut di dalam negeri menyerap minimal 240.000 ton/ tahun. Padahal potensi produksi rumput laut Indonesia hanya 148.850 to.

Eucheuma cottonii yang semula hanya mengisi pasar ekspor, kini mulai diserap pasar dalam negeri. Sedikitnya 5 industri pengolahan karaginan semi refined skala besar telah dibangun. Belum lagi industri skala kecil yang juga mulai berkembang. “Total jenderal pasar dalam negeri butuh cottonii 15.000 sampai 20.000 ton per tahun,” tegas Safari Azis.

Tanam baru


Menyadari tingginya permintaan, banyak sentra akhirnya berbenah diri. Di Nusa Tenggara Timur misalnya, “Kini mulai dilakukan penanaman baru,” kata Haryadi. Begitu pula di beberapa pulau di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tenggara, kini dikembangkan rumput laut.

Di Manado malah diupayakan bibit baru berkualitas untuk dikembangkan petani. “Untuk tujuan itu kami bekerjasama dengan LIPI dan Filipina,” jelas Boy Watuseke. Bibit yang didatangkan dari Filipina pada September 2002 hasilnya kurang bagus. Namun, temuan cottonii alam di perairan Desa Nain cukup memberi harapan. Selain lebih tahan ice-ice, “Kandungan kappa karaginan dan gel tinggi,” katanya. Karena itu cottonii baru yang dinamai peles sesuai nama penemunya, itu diminati petani. Kini peles telah menggantung di sekitar 600 tali panjang.

Kalau bukan karena prospek pasar, tak mungkin Direktorat Jenderal Perikanan memasang target produksi rumpul laut nasional sebesar 366.750 ton senilai US$146,7-juta
Lebih baru Lebih lama