Bersetelan celana jeans warna putih gading, kaos dan topi pet biru gelap, Budi Dharmawan menyusuri pohon-pohon lengkeng itoh setinggi 1 m yang berbaris rapi dengan jarak tanam 7 m x7 m. Kakinya yang telanjang melangkah mantap menyusuri jalan yang kadang berbukit. Sesekali lelaki 70 tahun itu berhenti sembari menajamkan mata pada beberapa pohon yang mulai memamerkan bunga. Usai mengontrol kebun seluas 230 ha, peluh membasahi kening juragan cengkih itu.
Dari kebun lengkeng, Budi melongok deretan rambutan binjai. Di sana terlihat beberapa orang tengah memanen buah yang meranum merah. Pada Februari itu, pohon-pohon rambutan berumur 20 tahun tengah berbuah lebat. Kakinya terus melangkah menuju kebun pepaya introduksi asal negeri jiran yang sedikit tersembunyi di balik tajuk rambutan.
Puas meninjau kebun, kelahiran Juwana, Pati, itu menyambangi bangunan berdinding kayu di dekat pintu gerbang kebun. Di sana puluhan pegawai menurunkan rambutan dari truk, memisah buah dari tangkai, mencuci, menimbang, mengemas dengan styrofoam dan jala, lalu menumpuk rapi dalam dus-dus karton. Rambutan berpenampilan apik itu siap dikirim ke toko-toko di seputaran Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Kala musim panen, 3—4 truk setiap hari keluar dari kebun di kaki Gunung Merbabu itu.
Begitulah kegiatan Budi minimal sekali seminggu. Pagi-pagi benar purnawirawan perwira TNI Angkatan Laut yang berdinas pada 1961 —1967 itu sudah meluncur dari kediaman di Semarang menuju kebun di Dusun Kalu Dukuh, Desa Sidokumpul, Kecamatan Patean, Kendal. Perjalanan yang ditempuh selama 1 jam itu sangat ia nikmati. Di kebun di ketinggian 600 m dpl itu Budi menemukan dunianya: berkebun buah-buahan.
Buat sebagian orang, melihat seorang Budi Dharmawan di kebun buah pemandangan tak lazim. Maklum selama ini adik kandung Kwik Kian Gie, Menteri Negara Perencana Pembangunan Nasional pada era pemerintahan Presiden Megawati, itu lebih dikenal sebagai juragan cengkih. Di bawah bendera PT Zanzibar Cengkeh, pria yang pernah ikut dalam operasi Dwikora, Trikora, dan G 30 S PKI itu mengelola perkebunan cengkih di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di antaranya di Pasirmadang, Jasinga, seluas 2.000 ha dan Sukorejo, Selakaton, 300 ha. Boleh dibilang Zanzibar yang namanya diambil dari sentra cengkih dunia salah satu perkebunan Syzigium aromaticum terbesar di tanahair.
Kalau kemudian Budi mengurusi kebun buah, itu bukan tanpa alasan. Alumnus Teknik Mesin ITB pada 1961 itu sejak lama punya obsesi untuk membangunperkebunan buah-buahan. Itu bermula pada periode awal 1970-an waktu ia sering keluar-masuk daerah mencari lahan untuk mengebunkan cengkih. Budi melihat pohon-pohon buah ditelantarkan. Pohon ditebang untuk diambil kayunya, atau karena lahannya dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan. “Lama-lama Indonesia akan mengimpor buah,” batinnya kala itu.
[caption id="attachment_7771" align="aligncenter" width="1335"]
Kebun buah, jadi obsesi yang terus diwujudkan[/caption]
Tak sekadar berangan-angan, Budi pun langsung bergerak. Namun, belum-belum kendala menghadang. Saat itu belum ada pihak yang serius menangani pembibitan tanaman buah. “Jangankan pembibitan, jenis tanaman buah apa saja yang ada belum terdata,” keluhnya. Seorang kolega mengingatkan, jika Budi mau sukses mengebunkan buah-buahan maka ia mesti melewati tahap awal yaitu membuat kebun bibit.
Tanpa menunda waktu, Budi membuat pilot project berupa kebun koleksi plasma nutfah. Dengan mengusung nama PT United Fruit Indonesia (UFI), perusahaan itu mengumpulkan beragam buah-buahan di Babakanmadang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, seluas 5 ha; Sukorejo (46 ha) dan Kandangan, Bawen (1 ha) di Jawa Tengah. Dari hasil riset selama 6 tahun, jeruk siem keprok berkulit tebal serta rambutan binjai dan rapiah varietas yang layak dikembangkan. Untuk memenuhi kebutuhan bibit, Budi membangun nurseri di bawah bendera PT Hortimart Utama.
Sejumlah Rp400-juta dicemplungkan untuk membuat bedeng persemaian berfasilitas sprinkler. Target produksi, 1 -juta bibit per tahun dengan metoda mini grafting (penyambungan dengan ukuran batang 1—2 mm, red). Tahap awal yang diproduksi ialah bibit jeruk dan melinjo. Bibit diproduksi untuk memenuhi order dari dinas, kebun-kebun besar, dan ritel.
Sayang, bisnis bibit tak selamanya manis. Setelah 3 periode memproduksi 2-juta bibit jeruk dan 1-juta melinjo, Hortimart vacum. Budi merugi karena harga saat pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian.
Lantaran pasar bibit mandek, Budi banting stir terjun mengebunkan buah secara komersial. Dibentuklah kebun Hortindo Pratama Indah pada 1985/1986 dengan ambisi pengelolaan 1.500 ha di Jawa Barat dan 1.000 ha di Jawa Tengah.
Budi mengundang beberapa bankir untuk mengucurkan kredit. Sebuah bank swasta setuju memberikan kredit. Bermodalkan tawaran dari bank itu, mulailah Budi mencari lahan untuk kebun.
Pilihan jatuh pada kebun Anggola, di Cianjur Selatan seluas 1.700 ha. Dari total luas, hanya 1.000 ha yang terpakai. Masing-masing 300 ha untuk rambutan dan 700 ha, j eruk. Untuk membuka lahan dan penanaman Budi membenamkan Rp 1-miliar.
Namun, apa lacur dana yang semula akan Sikucurkan bank diputus tiba-tiba. Padahal, untuk biaya operasional dibutuhkan tambahan Rp3-miliar. “Maka saya lari minta bantuan pada Om William (William Soeryadjaya, pemilik Grup Astra, red). Kalau tidak mendapat bantuan modal, saya bisa bangkrut,” kata Budi.
William setuju memberikan bantuan modal. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Waktu ngobrol-ngobrol dengan Jacob Oetama, pendiri Grup Gramedia itu ternyata tertarik terjun ke dunia agribisnis. Akhirnya, kebun Hortindo Pratama Indah disokong 3 kaki Astra, Gramedia, dan Zanzibar. Ironisnya begitu 2 nama besar itu ikut bermain, bank mengucurkan dana.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Budi untuk menggenjot produksi. Sayang, begitu produksi jeruk mencapai 1.000 ton per tahun, citrus vein phloem disease (CVPD) menyerbu pada 1987. Kebun nyaris luluh-lantak. Tak mau tinggal diam, pria berkacamata itu mencari pakar jeruk hingga ke mancanegara. Bertemulah ia dengan pakar dari Taiwan Agriculture Research Institute (TARI).
Sayang, belum sempat semua saran dilakukan, Budi bangkrut. Kebun dijual, uangnya dipakai untuk mengembalikan utang ke bank. “Kalau mental ngga kuat, bisa gila saya,” kenang Budi.
Bak jatuh tertimpa tangga, saat kebun buah bangkrut, bisnis cengkih diobok-obok. Pembentukan Badan Penyangga Pemasaran Cengkih (BPPC) pada 1991 membuat harga menukik. Dari semula Rp 14.000 per kg, turun jadi Rp2.500/kg.
Maka sepanjang 1993—2000, Budi memilih untuk beristirahat. “Saya mencari dana untuk menutupi kerugian Zanzibar yang mencapai Rp400-juta—Rp500-juta per tahun,” paparnya.
Banyak yang menyarankan Budi untuk menjual kebun cengkih. Namun, usul itu ditolak. “Saya merintis ini mulai dari nol hingga besar. Tidak akan dilepaskan begitu saja. Kalau harus bangkrut, biar termasuk pribadi Budi Dharmawan ikut bangkrut,” tekad pria berkacamata itu. Pada 2000 kondisi percengkihan mulai membaik setelah BPPC dibubarkan pada 1998. Memasuki masa rehabilitasi itu Budi terkejut. Dari total populasi 340.000 pohon, tersisa 120.000 pohon. Yang lain lenyap karena tidak terawat.
Toh dari cengkih tersisa Budi mulai menangguk rupiah. “Nah, surplus uang punya, lahan kosong ada, saya ingin menanam buah lagi,” katanya. Semua orang terkejut, karena menganggap Budi keras kepala. Berkali-kali jatuh dalam mengembangkan buah-buahan, tetap tidak kapok. “Bila suatu negara ingin membangun negerinya, maka mulailah dengan basis jumlah penduduk terbanyak. Di Indonesia itu berarti dimulai dari pertanian. Saya lihat pembangunan di Malaysia, Cina, dan Vietnam dimulai dari pertanian,” tutur Budi.
Dengan tekad itu, kini di kebun di Kendal terdapat sekitar 10 jenis buah yang tengah dikembangkan. Sebut saja lengkeng itoh, rambutan binjai, dragon fruit, pepaya, jambu air delima dan citra, serta rambutan binjai siap berproduksi kontinu. Itu belum termasuk ribuan durian monthong di Ungaran, Semarang, yang rutin dipanen 3 tahun terakhir.
[caption id="attachment_7769" align="aligncenter" width="605"]
Pohon rambutan, warisan 20 tahun silam[/caption]
Hasilnya ternyata menjanjikan. Panen durian, jambu air, dan pepaya jadi buah favorit di toko-toko buah di Semarang. Produksi rambutan dinikmati konsumen di Jakarta. Budi sejak awal memang tak khawatir dengan pemasaran. “Kalau produk berkualitas dan kontinu, pasti pasar dengan sendirinya terbuka,” ujarnya.
Pria berperawakan tinggi itu semakin getol untuk memperluas usaha. Populasi durian monthong di Ungaran direncanakan menjadi 7.000 pohon. Itu dilanjutkan dengan penanaman 4.000 pamelo. Populasi citra ditambah menjadi 5.000 pohon. Sementara target lengkeng itoh mencapai 14.000 pohon atau 70 ha.
Toh, Budi tidak mau maju sendirian. Juragan cengkih itu membentuk Yayasan Obor Tani. Impiannya memberdayakan petani agar bisa menjadi pekebun mandiri. Para pekebun dididik di kebun Hortindo Pratama Indah. Setelah memiliki kecakapan, mereka kembali ke lokasi masing-masing dengan pengawalan teknologi. Budi melihat, itulah yang dilakukan pemerintah Cina dalam memajukan pertanian.
“Nah, saya ngga berani terjun ke masyarakat kalau saya sendiri bodoh. Makanya saya mesti terjun dulu membuka kebun,” katanya. Meski berkali-kali babak-belur mengembangkan pertanian, Budi pantang menyerah. Itu karena dia sang perwira yang tangguh di kebun buah.
Dari kebun lengkeng, Budi melongok deretan rambutan binjai. Di sana terlihat beberapa orang tengah memanen buah yang meranum merah. Pada Februari itu, pohon-pohon rambutan berumur 20 tahun tengah berbuah lebat. Kakinya terus melangkah menuju kebun pepaya introduksi asal negeri jiran yang sedikit tersembunyi di balik tajuk rambutan.
Puas meninjau kebun, kelahiran Juwana, Pati, itu menyambangi bangunan berdinding kayu di dekat pintu gerbang kebun. Di sana puluhan pegawai menurunkan rambutan dari truk, memisah buah dari tangkai, mencuci, menimbang, mengemas dengan styrofoam dan jala, lalu menumpuk rapi dalam dus-dus karton. Rambutan berpenampilan apik itu siap dikirim ke toko-toko di seputaran Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Kala musim panen, 3—4 truk setiap hari keluar dari kebun di kaki Gunung Merbabu itu.
Juragan cengkih

Buat sebagian orang, melihat seorang Budi Dharmawan di kebun buah pemandangan tak lazim. Maklum selama ini adik kandung Kwik Kian Gie, Menteri Negara Perencana Pembangunan Nasional pada era pemerintahan Presiden Megawati, itu lebih dikenal sebagai juragan cengkih. Di bawah bendera PT Zanzibar Cengkeh, pria yang pernah ikut dalam operasi Dwikora, Trikora, dan G 30 S PKI itu mengelola perkebunan cengkih di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di antaranya di Pasirmadang, Jasinga, seluas 2.000 ha dan Sukorejo, Selakaton, 300 ha. Boleh dibilang Zanzibar yang namanya diambil dari sentra cengkih dunia salah satu perkebunan Syzigium aromaticum terbesar di tanahair.
Kalau kemudian Budi mengurusi kebun buah, itu bukan tanpa alasan. Alumnus Teknik Mesin ITB pada 1961 itu sejak lama punya obsesi untuk membangunperkebunan buah-buahan. Itu bermula pada periode awal 1970-an waktu ia sering keluar-masuk daerah mencari lahan untuk mengebunkan cengkih. Budi melihat pohon-pohon buah ditelantarkan. Pohon ditebang untuk diambil kayunya, atau karena lahannya dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan. “Lama-lama Indonesia akan mengimpor buah,” batinnya kala itu.
Perintis
[caption id="attachment_7771" align="aligncenter" width="1335"]

Tak sekadar berangan-angan, Budi pun langsung bergerak. Namun, belum-belum kendala menghadang. Saat itu belum ada pihak yang serius menangani pembibitan tanaman buah. “Jangankan pembibitan, jenis tanaman buah apa saja yang ada belum terdata,” keluhnya. Seorang kolega mengingatkan, jika Budi mau sukses mengebunkan buah-buahan maka ia mesti melewati tahap awal yaitu membuat kebun bibit.
Tanpa menunda waktu, Budi membuat pilot project berupa kebun koleksi plasma nutfah. Dengan mengusung nama PT United Fruit Indonesia (UFI), perusahaan itu mengumpulkan beragam buah-buahan di Babakanmadang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, seluas 5 ha; Sukorejo (46 ha) dan Kandangan, Bawen (1 ha) di Jawa Tengah. Dari hasil riset selama 6 tahun, jeruk siem keprok berkulit tebal serta rambutan binjai dan rapiah varietas yang layak dikembangkan. Untuk memenuhi kebutuhan bibit, Budi membangun nurseri di bawah bendera PT Hortimart Utama.
Sejumlah Rp400-juta dicemplungkan untuk membuat bedeng persemaian berfasilitas sprinkler. Target produksi, 1 -juta bibit per tahun dengan metoda mini grafting (penyambungan dengan ukuran batang 1—2 mm, red). Tahap awal yang diproduksi ialah bibit jeruk dan melinjo. Bibit diproduksi untuk memenuhi order dari dinas, kebun-kebun besar, dan ritel.
Jatuh-bangun
Sayang, bisnis bibit tak selamanya manis. Setelah 3 periode memproduksi 2-juta bibit jeruk dan 1-juta melinjo, Hortimart vacum. Budi merugi karena harga saat pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian.
Lantaran pasar bibit mandek, Budi banting stir terjun mengebunkan buah secara komersial. Dibentuklah kebun Hortindo Pratama Indah pada 1985/1986 dengan ambisi pengelolaan 1.500 ha di Jawa Barat dan 1.000 ha di Jawa Tengah.
Budi mengundang beberapa bankir untuk mengucurkan kredit. Sebuah bank swasta setuju memberikan kredit. Bermodalkan tawaran dari bank itu, mulailah Budi mencari lahan untuk kebun.
Pilihan jatuh pada kebun Anggola, di Cianjur Selatan seluas 1.700 ha. Dari total luas, hanya 1.000 ha yang terpakai. Masing-masing 300 ha untuk rambutan dan 700 ha, j eruk. Untuk membuka lahan dan penanaman Budi membenamkan Rp 1-miliar.
Namun, apa lacur dana yang semula akan Sikucurkan bank diputus tiba-tiba. Padahal, untuk biaya operasional dibutuhkan tambahan Rp3-miliar. “Maka saya lari minta bantuan pada Om William (William Soeryadjaya, pemilik Grup Astra, red). Kalau tidak mendapat bantuan modal, saya bisa bangkrut,” kata Budi.
William setuju memberikan bantuan modal. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Waktu ngobrol-ngobrol dengan Jacob Oetama, pendiri Grup Gramedia itu ternyata tertarik terjun ke dunia agribisnis. Akhirnya, kebun Hortindo Pratama Indah disokong 3 kaki Astra, Gramedia, dan Zanzibar. Ironisnya begitu 2 nama besar itu ikut bermain, bank mengucurkan dana.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Budi untuk menggenjot produksi. Sayang, begitu produksi jeruk mencapai 1.000 ton per tahun, citrus vein phloem disease (CVPD) menyerbu pada 1987. Kebun nyaris luluh-lantak. Tak mau tinggal diam, pria berkacamata itu mencari pakar jeruk hingga ke mancanegara. Bertemulah ia dengan pakar dari Taiwan Agriculture Research Institute (TARI).
Sayang, belum sempat semua saran dilakukan, Budi bangkrut. Kebun dijual, uangnya dipakai untuk mengembalikan utang ke bank. “Kalau mental ngga kuat, bisa gila saya,” kenang Budi.
Tidak kapok
Bak jatuh tertimpa tangga, saat kebun buah bangkrut, bisnis cengkih diobok-obok. Pembentukan Badan Penyangga Pemasaran Cengkih (BPPC) pada 1991 membuat harga menukik. Dari semula Rp 14.000 per kg, turun jadi Rp2.500/kg.
Maka sepanjang 1993—2000, Budi memilih untuk beristirahat. “Saya mencari dana untuk menutupi kerugian Zanzibar yang mencapai Rp400-juta—Rp500-juta per tahun,” paparnya.
Banyak yang menyarankan Budi untuk menjual kebun cengkih. Namun, usul itu ditolak. “Saya merintis ini mulai dari nol hingga besar. Tidak akan dilepaskan begitu saja. Kalau harus bangkrut, biar termasuk pribadi Budi Dharmawan ikut bangkrut,” tekad pria berkacamata itu. Pada 2000 kondisi percengkihan mulai membaik setelah BPPC dibubarkan pada 1998. Memasuki masa rehabilitasi itu Budi terkejut. Dari total populasi 340.000 pohon, tersisa 120.000 pohon. Yang lain lenyap karena tidak terawat.
Toh dari cengkih tersisa Budi mulai menangguk rupiah. “Nah, surplus uang punya, lahan kosong ada, saya ingin menanam buah lagi,” katanya. Semua orang terkejut, karena menganggap Budi keras kepala. Berkali-kali jatuh dalam mengembangkan buah-buahan, tetap tidak kapok. “Bila suatu negara ingin membangun negerinya, maka mulailah dengan basis jumlah penduduk terbanyak. Di Indonesia itu berarti dimulai dari pertanian. Saya lihat pembangunan di Malaysia, Cina, dan Vietnam dimulai dari pertanian,” tutur Budi.
Dengan tekad itu, kini di kebun di Kendal terdapat sekitar 10 jenis buah yang tengah dikembangkan. Sebut saja lengkeng itoh, rambutan binjai, dragon fruit, pepaya, jambu air delima dan citra, serta rambutan binjai siap berproduksi kontinu. Itu belum termasuk ribuan durian monthong di Ungaran, Semarang, yang rutin dipanen 3 tahun terakhir.
Mitra tani
[caption id="attachment_7769" align="aligncenter" width="605"]

Hasilnya ternyata menjanjikan. Panen durian, jambu air, dan pepaya jadi buah favorit di toko-toko buah di Semarang. Produksi rambutan dinikmati konsumen di Jakarta. Budi sejak awal memang tak khawatir dengan pemasaran. “Kalau produk berkualitas dan kontinu, pasti pasar dengan sendirinya terbuka,” ujarnya.
Pria berperawakan tinggi itu semakin getol untuk memperluas usaha. Populasi durian monthong di Ungaran direncanakan menjadi 7.000 pohon. Itu dilanjutkan dengan penanaman 4.000 pamelo. Populasi citra ditambah menjadi 5.000 pohon. Sementara target lengkeng itoh mencapai 14.000 pohon atau 70 ha.
Toh, Budi tidak mau maju sendirian. Juragan cengkih itu membentuk Yayasan Obor Tani. Impiannya memberdayakan petani agar bisa menjadi pekebun mandiri. Para pekebun dididik di kebun Hortindo Pratama Indah. Setelah memiliki kecakapan, mereka kembali ke lokasi masing-masing dengan pengawalan teknologi. Budi melihat, itulah yang dilakukan pemerintah Cina dalam memajukan pertanian.
“Nah, saya ngga berani terjun ke masyarakat kalau saya sendiri bodoh. Makanya saya mesti terjun dulu membuka kebun,” katanya. Meski berkali-kali babak-belur mengembangkan pertanian, Budi pantang menyerah. Itu karena dia sang perwira yang tangguh di kebun buah.