Tak Ada Rotan, Perajin pun Menjerit

Adagium tak ada rotan, akar pun jadi tak dapat diterima oleh para perajin. Musababnya anggota famili Palmae itu tak tergantikan. Itulah yang dirasakan PT Rotan Sari Indonesia sejak November . Perusahaan yang berdiri pada 1973 itu memanfaatkan rotan batang mandola hingga 70 ton per bulan. Sayangnya, bahan baku itu kini semakin sulit didapat.

Kesulitan untuk memperoleh bahan baku juga dialami banyak perusahaan lain seperti CV Granada di Cirebon. Dampaknya, harga bahan baku melambung. Menurut Liono Widagdo SE dari PT Rotan Sari Indonesia, harga sekilo batang mandola saat ini Rp7.500 dari sebelumnya Rp5.000. "Perusahaan rotan sekarang seperti berjalan di tempat karena sulit mendapat bahan baku," ujar Widagdo.

Menurut dugaan Widagdo kesulitan pasokan merupakan efek domino kenaikan bahan bakar minyak beberapa waktu silam. Meski pemerintah meralat, tetap saja harga bahan baku telanjur naik. Penyebab lain akibat banyaknya hutan yang beralih fungsi. Hal serupa diungkapkan Alex, pemasok beragam rotan dari Jambi.

"Banyak hutan rusak atau dijadikan lahan kelapa sawit," ujar Alex kepada Kami. Hutan yang beralih fungsi itu antara lain terdapat di Muarabungo, Ketaling, Mandiangin, Sarolangunbangko, dan Sungai Bengkal. Celakanya, perubahan itu tak diimbangi dengan penanaman lagi.

Perizinan Pengolahan Rotan


[caption id="attachment_6355" align="aligncenter" width="1511"] Produksi terancam, karena kesulitan bahan[/caption]

Alex menyediakan 20 jenis rotan bagi perajin. Ia memperoleh dengan berkeliling ke beberapa sentra seperti Aceh, Bengkulu, Jambi, Duri, dan Pekanbaru. Ia hanya membeli melalui pengepul rotan di sentra itu. Alex lebih memilih rotan yang sudah diasap belerang agar lebih awet. Pengepul juga harus mempunyai Surat Keterangan Syahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang diperoleh dari Perum Perhutani.

Tanpa surat itu rotan tak dapat diperdagangkan. Apalagi ayah 2 anak itu menjual rotan ke Jakarta, Bekasi, dan Cirebon. Sepanjang perjalanan Jambi sampai Cirebon ia mesti menunjukkan SKSHH di sekitar 10 pos kehutanan. "Rumit kalau ngga tahu sistem keija," katanya. Lantaran kesulitan memperoleh bahan baku, pasokan per hari saat ini hanya 10 truk setara 45 ton.

Padahal permintaan yang masuk mencapai 20 ton per hari. Jenis terbanyak antara lain manau, cl, dan slemit. Harga jual masing-masing jenis adalah Rpl 7.000 per 4 m, cl Rp2.000 per kg, dan slemit Rp8.000 sampai 12.000 per kg. Rotan berdiameter besar atau jenis pleonantik alias tumbuh tunggal biasanya dijual per batang. Produsen aneka kerajinan membutuhkan batang sepanjang 4 m. Sedangkan rotan berdiameter kecil hingga sedang 1,8 sampai 2,8 cm termasuk hapasantik alias tumbuh merumpun. Mereka dijual per kg.

Kendala Birokrasi


Kesulitan sama juga menimpa Maryono Senjaya, pemasok di Tasikmalaya, Jawa Barat. Untuk memenuhi permintaan 2 eksportir di Jakarta dan Cirebon ia mencari rotan di Perhutani Cianjur dan Bogor. Harap maklum, selama ini rotan dikembangkan di hutan-hutan milik Perhutani. Beberapa jenis seperti irit, sega, dan pulut memang dibudidayakan masyarakat di Kalimantan sebagai bahan pembuatan lampit. Namun, rotan jenis besar belum dibudidayakan.

Menurut Maryono jenis yang diminta manau 1 dan seuti masing-masing berkisar 5.000 sampai 10.000 batang per bulan. Padahal sebetulnya ada 3 eksportir yang membutuhkan bahan baku dengan volume sama. "Sekarang sulit memperoleh barang sehingga permintaan itu tak terlayani," ujar ayah 3 anak itu. Standar kualitas yang diinginkan batang berdiameter minimal 2 cm dan panjang 3,8 m. Harga jual manau Rp4.000 per batang dan seuti Rp2.500 per batang.

Ia mengambil untung per batang Rp500 sehingga laba bersih sekitar Rp5-juta per bulan per jenis. Hambatan pemasok rotan adalah, "Izin penebangan sulit keluar karena harus menunggu surat dari gubernur," kata pemasok rotan sejak 6 tahun silam itu. Sebelum penebangan ia bisanya mengajukan surat permohonan kepada kesatuan pemangkuan hutan (KPH) wilayah tertentu. Surat itu lantas diteruskan ke Perum Perhutani Unit I dan gubernur.

Lebih kecil


[caption id="attachment_6354" align="aligncenter" width="1511"] Banyak lahan beralih fungsi[/caption]

Jika surat izin keluar, barulah ia menebang atas pengawasan KPH sesuai jumlah yang disepakati. Di beberapa daerah rotan hanya dikembangkan di hutan lindung. Hutan produksi yang relatif luas justru tak dijadikan sentra penanaman. Di Tasikmalaya misalnya, tercatat 43.863 ha hutan industri. Sedangkan hutan lindung hanya 4.300 ha. Luasan itulah yang ditanami rotan manau dan cacing

Menurut Sumantri SHut dari KPH Tasikmalaya total volume panen rotan relatif kecil, 10.000 sampai 15.000 batang per tahun. Sebagian besar rotan terserap untuk industri kerajinan di Cirebon. Maklum kota udang itu sentra terbesar di Jawa. Data Dinas Perisdustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon mencatat volume eksporpada 2002 10.849 kontainer senilai US$76.591.932.

Kepala Seksi Ekspor-Impor institusi itu, H. Maman Suparman, menuturkan 1 kontainer setara 3.000 kg. Volume dan nilai itu jauh lebih besar ketimbang yang tercatat Badan Pusat Statistik (BPS) nasional. Menurut BPS volume dan ekspor rotan hingga September pada tahun yang sama hanya 16.093 ton senilai US$9.326.589.

Demikian pula pada 2000. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Cirebon mencatat 11.028 kontainer (US$87.150.764). Sedangkan versi BPS cuma 14.678 ton senilai US$9.117.708. Indonesia bagian dari Cirebon?
Lebih baru Lebih lama