Permintaan 1 ton/hari tomat TW sempat dilayangkan ke PT Saung Mirwan pada awal 2001. Sayangnya permintaan luar biasa itu tak bisa dipenuhi. Untuk memenuhi kuota 200 sampai 250 kg/hari saja bagian pengadaan harus "berburu" ke sentra-sentra produksi di Jawa Barat.
Pasokan langka tidak terjadi pada resento dan ceri yang diproduksi di dalam greenhouse. "Kalau produksi tomat dalam greenhouse tidak ada masalah, kapan saja bisa disediakan," ujar Nanang Pakturrahman, kabag Pengadaan PT Saung Mirwan.
Demi menjaga kontinuitas produksi, "Tomat TW atau arthaloka bisa ditanam bukan dibudidayakan di dalam greenhouse.
Kalau dibudidayakan ada perhitungan ekonominya. Ini yang tidak masuk," kata Mastur Fuad, pekebun di Pacet, Cipanas. Biaya produksi di lahan terbuka Rp 1.500/ pohon, produktivitas 2 kg/pohon. Dengan harga jual di tingkat petani Rp1.500/kg, petani sudah untung.
Bandingkan bila ditanam di dalam greenhouse dengan sistem hidroponik. Biaya produksi minimal Rp4.000/pohon. Produksi bisa mencapai 4 kg/pohon. Sayangnya, "Harga jual tidak kompetitif dengan yang ditanam di lahan terbuka," lanjut Mastur. Dengan harga jual Rp 1.500/ kg petani sebenarnya masih untung Rp2.000/pohon. Namun, ini tak sepadan dengan biaya investasi tinggi Rp50.000/ m2.
Masalah juga muncul di produksi. Arthaloka di greenhouse Prima Tani, kebun sayuran di Sukabumi berbuah bagus sampai tandan ke-3. Selanjutnya menurun. Dengan kondisi seperti itu penanaman di lahan terbuka pilihan terbaik.
[caption id="attachment_17985" align="aligncenter" width="770"]
Biaya tinggi, pilih varietas khusus[/caption]
Budidaya di dalam greenhouse akan menguntungkan asalkan varietas eksklusif yang ditanam. PT Omnitech Indonesia (PT OTI) memproduksi momotaro; Saung Mirwan, resento dan ceri; PT Rejosari Bumi, resento; PT Joro, esento dan ceri yang dihargai tinggi.
Ambil contoh PT OTI, dengan biaya produksi Rp3.000/ pohon tomat dijual Rp10.000/kg. Padahal satu pohon menghasilkan 4 kg. Dengan keuntungan besar, wajar bila pekebun terus menanam di dalam greenhouse.
Produksi optimal karena yang dipilih varietas khusus untuk penanaman di dalam greenhouse. Bila ditanam di lahan terbuka justru bermasalah.
Resento di kebun Priatmana Muhendi, pemilik Prima Tani, tidak sempurna karena berbentuk perahu. Pengalaman Mastur Fuad lebih jelek lagi, benih tidak tumbuh.
Ceri santa keluaran perusahaan benih Taiwan sebenarnya untuk penanaman di dalam greenhouse juga. Namun, Pacet Segar bisa memproduksi di lahan terbuka. "Syaratnya ketinggian tempat lebih dari 1.000 m dpi," kata Mastur Fuad.
Biaya produksi Rp1 ,500/pohon dan produktivitas 2 sampai 3 kg/pohon. Harga di tingkat petani Rp2.500/kg. Dari satu pohon minimal petani mengantungi untung Rp3.5OO.
Bila memakai greenhouse, produksi menjadi 4 kg/pohon dan harga Rp4.000/kg karena kualitas lebih baik. Dengan biaya produksi Rp4.000 sampai Rp6.000/pohon, keuntungan berlipat.
Oleh karena itu, wajar greenhouse jadi pilihan untuk memproduksi tomat berkualitas. "Untuk produk-produk yang membutuhkan kualitas tetap dan kontinuitas, greenhouse is the only one," tegas Tatang Hadinata, pemilik PT Saung Mirwan.
Banyak hal yang tidak dapat ditanggulangi pada penanaman di lahan terbuka. Dari faktor tanah saja misalnya. "Siapa yang tahu yang ada di dalam tanah? Kecuali sebelumnya dilakukan penelitian dan ini membutuhkan dana sangat besar," ujar Tatang.
Walau tanah Indonesia dikenal subur, "Tidak semua bagus untuk tanaman. Apalagi ditambah kerusakan-kerusakan yang dibuat manusia," kata I Nyoman Sukarata, pengelola PT Rejosari Bumi, produsen aneka sayuran.
Iklim ikut menyumbang kerumitan penanaman di lahan terbuka. Turunnya hujan menyebabkan bunga cepat rontok. Akibatnya fruitsetting (pembentukan buah, red) tidak sempurna. "Kalau hujan bisa rontok 50% atau lebih," kata Tatang. Agar penyerbukan sempurna dibutuhkan kondisi kering. Ini tidak dapat dijamin di lahan terbuka.
Tak hanya alasan produksi, pasar pun jadi pertimbangan memilih greenhouse. Perusahaan berorientasi bisnis jadwal tanam diatur untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Ini bisa dilakukan bila ditanam di dalam greenhouse. "Kalau ditanam di luar, sudah di-set tiba-tiba hujan besar atau banjir, hilang semua," ujar I Nyoman Sukarata. Kelebihan penanaman di dalam greenhouse kehadiran hama dapat ditekan karena lingkungan dijaga tetap higienis.
Saung Mirwan memadukan pertanaman di dalam greenhouse dengan sistem hidroponik. Hal serupa dilakukan PT Joro di Pasuruan, PT Omnitech Indonesia (PT OTI) di Lembang, dan PT Rejosari Bumi di Tapos, Bogor.
Namun, perpaduan itu bukan keharusan. Hidroponik dipilih karena produksi tanaman lebih tinggi dibanding menggunakan media tanah, lebih teijamin bebas dari hama/penyakit, hemat penggunaan pupuk, dan produksi lebih berkualitas.
Namun, menggunakan sistem hidroponik bukan perkara mudah. "Biaya tinggi sudah jelas. Yang sulit adalah menyelaraskan dukungan alam dan jenis tanaman," kata Mastur Fuad dari Pacet Segar. Ini menentukan porsi pemberian nutrisi. Begitu pula dengan perbedaan musim dan suhu.
Tatang Hadinata mensyaratkan pengetahuan kualitas air. Dengan mengetahui kualitas air, pekebun bisa memperkirakan kebutuhan nutrisi tanaman lebih tepat.
Serangan virus pada tomat tak bisa disepelekan. Kehilangan hasil akibat TMV tobacco mosaic virus, salah satu virus yang banyak menyerang tomat di Indonesia mencapai 0,2 sampai 46%. Di Jepang lebih tinggi, 20 sampai 50%. Sedang di India, serangan TLCV (tomato leaf curl virus) menyebabkan 92,5% kehilangan hasil. Kini hadir virus baru yang tak kalah ganas.
Awal 1999 virus yang belum diketahui namanya itu mengejutkan para pekebun tomat di Belanda dan Inggris. Saat awal penanaman muncul bintik kuning di daun yang selanjutnya membesar.
Daun mengeriting seperti terbakar dan muncul gelembung berwarna gelap. Bahkan di beberapa greenhouse tanaman muda harus rela dimusnahkan. Pada 2000 virus yang sama sudah menyebar ke Perancis, Jerman, dan Spanyol.
Ciri serangan mirip virus pada umumnya. Namun, hasil penelitian para ahli di Belanda menunjukkan penyebab kerusakan itu adalah pepino mosaic virus (PeMV). Virus itu semula ditemukan di Peru pada pepino tanaman buah khas Amerika Selatan.

PeMV menyebar sangat cepat. Para pekebun menyebutkan tingkat kerusakan mencapai 5 sampai 16%. Memang relatif kecil dibanding kerusakan akibat TMV dan TLCV. Namun, bukan berarti bisa dianggap sepele.
Saking parahnya kerusakan, para ahli menyarankan agar PeMV dimasukkan dalam daftar EPPO (The European and Mediterranean Plant Protection Organization) Alert. Daftar itu berisi hama penyakit tanaman yang perlu diwaspadai. Tak hanya tomat yang terancam, anggota keluarga Solanaceae lain, seperti kentang dan tembakau juga mungkin diserang.
Penyebaran PeMV melalui air/getah tanaman secara mekanis. Misal selama kegiatan budidaya, kontak antara daun dan akar, pada sisa tanaman atau kontainer panen.
Begitu pula dengan pakaian yang digunakan di area terinfeksi. Namun, bila sisa tanaman terinfeksi dibuat pupuk, virus menghilang setelah 6 minggu. Patogen juga ditemukan pada air irigasi dan slab. Sedang vektor virus itu adalah bumblebees (tawon besar).
Pekebun dan pemerintah Belanda bekerja keras untuk mengatasinya. Hasilnya cukup sukses. Pada 3 bulan pertama tahun ini tak ada satu pun laporan serangan PeMV pada penanaman tomat.
Sanitasi salah satu kunci kesuksesan itu. Selain itu penggunaan benih yang sudah dicucihamakan mengeliminir risiko kemunculan virus. Pencegahan dapat dilakukan, seperti tidak membiarkan pintu masuk greenhouse terbuka, sanitasi alat kerja, menyucihamakan air sirkulasi, dan memisahkan tanaman terserang.
Pasokan langka tidak terjadi pada resento dan ceri yang diproduksi di dalam greenhouse. "Kalau produksi tomat dalam greenhouse tidak ada masalah, kapan saja bisa disediakan," ujar Nanang Pakturrahman, kabag Pengadaan PT Saung Mirwan.
Demi menjaga kontinuitas produksi, "Tomat TW atau arthaloka bisa ditanam bukan dibudidayakan di dalam greenhouse.
Kalau dibudidayakan ada perhitungan ekonominya. Ini yang tidak masuk," kata Mastur Fuad, pekebun di Pacet, Cipanas. Biaya produksi di lahan terbuka Rp 1.500/ pohon, produktivitas 2 kg/pohon. Dengan harga jual di tingkat petani Rp1.500/kg, petani sudah untung.
Bandingkan bila ditanam di dalam greenhouse dengan sistem hidroponik. Biaya produksi minimal Rp4.000/pohon. Produksi bisa mencapai 4 kg/pohon. Sayangnya, "Harga jual tidak kompetitif dengan yang ditanam di lahan terbuka," lanjut Mastur. Dengan harga jual Rp 1.500/ kg petani sebenarnya masih untung Rp2.000/pohon. Namun, ini tak sepadan dengan biaya investasi tinggi Rp50.000/ m2.
Masalah juga muncul di produksi. Arthaloka di greenhouse Prima Tani, kebun sayuran di Sukabumi berbuah bagus sampai tandan ke-3. Selanjutnya menurun. Dengan kondisi seperti itu penanaman di lahan terbuka pilihan terbaik.
[caption id="attachment_17985" align="aligncenter" width="770"]

Eksklusif
Budidaya di dalam greenhouse akan menguntungkan asalkan varietas eksklusif yang ditanam. PT Omnitech Indonesia (PT OTI) memproduksi momotaro; Saung Mirwan, resento dan ceri; PT Rejosari Bumi, resento; PT Joro, esento dan ceri yang dihargai tinggi.
Ambil contoh PT OTI, dengan biaya produksi Rp3.000/ pohon tomat dijual Rp10.000/kg. Padahal satu pohon menghasilkan 4 kg. Dengan keuntungan besar, wajar bila pekebun terus menanam di dalam greenhouse.
Produksi optimal karena yang dipilih varietas khusus untuk penanaman di dalam greenhouse. Bila ditanam di lahan terbuka justru bermasalah.
Resento di kebun Priatmana Muhendi, pemilik Prima Tani, tidak sempurna karena berbentuk perahu. Pengalaman Mastur Fuad lebih jelek lagi, benih tidak tumbuh.
Ceri santa keluaran perusahaan benih Taiwan sebenarnya untuk penanaman di dalam greenhouse juga. Namun, Pacet Segar bisa memproduksi di lahan terbuka. "Syaratnya ketinggian tempat lebih dari 1.000 m dpi," kata Mastur Fuad.
Biaya produksi Rp1 ,500/pohon dan produktivitas 2 sampai 3 kg/pohon. Harga di tingkat petani Rp2.500/kg. Dari satu pohon minimal petani mengantungi untung Rp3.5OO.
Bila memakai greenhouse, produksi menjadi 4 kg/pohon dan harga Rp4.000/kg karena kualitas lebih baik. Dengan biaya produksi Rp4.000 sampai Rp6.000/pohon, keuntungan berlipat.
Kualitas dan kontinuitas
Oleh karena itu, wajar greenhouse jadi pilihan untuk memproduksi tomat berkualitas. "Untuk produk-produk yang membutuhkan kualitas tetap dan kontinuitas, greenhouse is the only one," tegas Tatang Hadinata, pemilik PT Saung Mirwan.
Banyak hal yang tidak dapat ditanggulangi pada penanaman di lahan terbuka. Dari faktor tanah saja misalnya. "Siapa yang tahu yang ada di dalam tanah? Kecuali sebelumnya dilakukan penelitian dan ini membutuhkan dana sangat besar," ujar Tatang.
Walau tanah Indonesia dikenal subur, "Tidak semua bagus untuk tanaman. Apalagi ditambah kerusakan-kerusakan yang dibuat manusia," kata I Nyoman Sukarata, pengelola PT Rejosari Bumi, produsen aneka sayuran.
Dukungan alam
Iklim ikut menyumbang kerumitan penanaman di lahan terbuka. Turunnya hujan menyebabkan bunga cepat rontok. Akibatnya fruitsetting (pembentukan buah, red) tidak sempurna. "Kalau hujan bisa rontok 50% atau lebih," kata Tatang. Agar penyerbukan sempurna dibutuhkan kondisi kering. Ini tidak dapat dijamin di lahan terbuka.
Tak hanya alasan produksi, pasar pun jadi pertimbangan memilih greenhouse. Perusahaan berorientasi bisnis jadwal tanam diatur untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Ini bisa dilakukan bila ditanam di dalam greenhouse. "Kalau ditanam di luar, sudah di-set tiba-tiba hujan besar atau banjir, hilang semua," ujar I Nyoman Sukarata. Kelebihan penanaman di dalam greenhouse kehadiran hama dapat ditekan karena lingkungan dijaga tetap higienis.
Saung Mirwan memadukan pertanaman di dalam greenhouse dengan sistem hidroponik. Hal serupa dilakukan PT Joro di Pasuruan, PT Omnitech Indonesia (PT OTI) di Lembang, dan PT Rejosari Bumi di Tapos, Bogor.
Namun, perpaduan itu bukan keharusan. Hidroponik dipilih karena produksi tanaman lebih tinggi dibanding menggunakan media tanah, lebih teijamin bebas dari hama/penyakit, hemat penggunaan pupuk, dan produksi lebih berkualitas.
Namun, menggunakan sistem hidroponik bukan perkara mudah. "Biaya tinggi sudah jelas. Yang sulit adalah menyelaraskan dukungan alam dan jenis tanaman," kata Mastur Fuad dari Pacet Segar. Ini menentukan porsi pemberian nutrisi. Begitu pula dengan perbedaan musim dan suhu.
Tatang Hadinata mensyaratkan pengetahuan kualitas air. Dengan mengetahui kualitas air, pekebun bisa memperkirakan kebutuhan nutrisi tanaman lebih tepat.
Awas! Virus Baru Ancam Tomat
Serangan virus pada tomat tak bisa disepelekan. Kehilangan hasil akibat TMV tobacco mosaic virus, salah satu virus yang banyak menyerang tomat di Indonesia mencapai 0,2 sampai 46%. Di Jepang lebih tinggi, 20 sampai 50%. Sedang di India, serangan TLCV (tomato leaf curl virus) menyebabkan 92,5% kehilangan hasil. Kini hadir virus baru yang tak kalah ganas.
Awal 1999 virus yang belum diketahui namanya itu mengejutkan para pekebun tomat di Belanda dan Inggris. Saat awal penanaman muncul bintik kuning di daun yang selanjutnya membesar.
Daun mengeriting seperti terbakar dan muncul gelembung berwarna gelap. Bahkan di beberapa greenhouse tanaman muda harus rela dimusnahkan. Pada 2000 virus yang sama sudah menyebar ke Perancis, Jerman, dan Spanyol.
Ciri serangan mirip virus pada umumnya. Namun, hasil penelitian para ahli di Belanda menunjukkan penyebab kerusakan itu adalah pepino mosaic virus (PeMV). Virus itu semula ditemukan di Peru pada pepino tanaman buah khas Amerika Selatan.

Kunci pada sanitasi
PeMV menyebar sangat cepat. Para pekebun menyebutkan tingkat kerusakan mencapai 5 sampai 16%. Memang relatif kecil dibanding kerusakan akibat TMV dan TLCV. Namun, bukan berarti bisa dianggap sepele.
Saking parahnya kerusakan, para ahli menyarankan agar PeMV dimasukkan dalam daftar EPPO (The European and Mediterranean Plant Protection Organization) Alert. Daftar itu berisi hama penyakit tanaman yang perlu diwaspadai. Tak hanya tomat yang terancam, anggota keluarga Solanaceae lain, seperti kentang dan tembakau juga mungkin diserang.
Penyebaran PeMV melalui air/getah tanaman secara mekanis. Misal selama kegiatan budidaya, kontak antara daun dan akar, pada sisa tanaman atau kontainer panen.
Begitu pula dengan pakaian yang digunakan di area terinfeksi. Namun, bila sisa tanaman terinfeksi dibuat pupuk, virus menghilang setelah 6 minggu. Patogen juga ditemukan pada air irigasi dan slab. Sedang vektor virus itu adalah bumblebees (tawon besar).
Pekebun dan pemerintah Belanda bekerja keras untuk mengatasinya. Hasilnya cukup sukses. Pada 3 bulan pertama tahun ini tak ada satu pun laporan serangan PeMV pada penanaman tomat.
Sanitasi salah satu kunci kesuksesan itu. Selain itu penggunaan benih yang sudah dicucihamakan mengeliminir risiko kemunculan virus. Pencegahan dapat dilakukan, seperti tidak membiarkan pintu masuk greenhouse terbuka, sanitasi alat kerja, menyucihamakan air sirkulasi, dan memisahkan tanaman terserang.